Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #7

IRWAN: Bertemu Abah Anom

Lalu Irwan menemukan sebuah rumah yang berdiri di sebuah dataran meninggi, dia seperti sengaja memisahkan diri dari penduduk tapi sebenarnya tidak karena dari sudut manapun rumahnya akan terlihat jelas, sebab pondasi rumah itu terletak dua tiga meter lebih tinggi dari jalan dan selain tingkat tiga, sebuah parabola menambah kemungkinan rumah itu terlihat jelas.

Sebuah pameran kekayaan? Mungkin juga tidak karena siapapun yang mampu boleh membeli sesuatu dan memasangnya di tempat yang tepat. Bukan sebuah pamer bila parabola dipasang di lantai atas (karena memang tempatnya di sana), atau mungkin pamer dan tidaknya kembali pada niat? Irwan malas berpikir terlalu jauh, dia sendiri tidak tahu orang seperti apa yang akan dihadapinya ini. Ada semacam perasaan was-was, separuh mungkin karena omongan ibu pemilik rumah, separuh lagi karena dia selalu tidak suka pada orang yang hidup kaya. Tidak apa-apa. Dia sekedar iri karena baik dia atau ibunya dulu tidak—atau belum—mencapai posisi itu. Mereka hidup sederhana hingga sempat tak punya televisi untuk beberapa lama dan Irwan kecil sempat tak berbekal uang saat pergi ke sekolah.

Ketika sudah sampai, dia mengetuk pintu, istrinya di samping memainkan jemari. Irwan tahu istrinya juga gelisah. Aneh, mungkin ibu itu benar, ada semacam kekuatan yang menyedot rasa percaya diri ketika ada lingkungan ini. Tidak ada yang aneh, hanya barisan pepohonan, tanaman bunga dan jalan berlapis kerikil yang mengantar mereka ke pintu depan. Mengapa Irwan mendadak merasa diintimidasi perasaan?

Seseorang keluar dari samping, laki-laki bertubuh kecil.

Bade ka Abah Anom, aya kang?” Irwan menyapa. 

Orang itu mengangguk dan mengajak mereka berjalan ke samping. Mereka mengikuti dan berjalan ke sebuah sudut. Pada sudut itulah laki-laki kecil itu berhenti, jempolnya mempersilahkan mereka untuk terus. Laki-laki itu tidak, apakah ada semacam batas teritori yang boleh diinjak tuan rumah saja?

Istrinya memberi isyarat, sebuah pertanyaan tentang kegelisahan, kembali: entah kenapa rasa ini bisa ada. Tapi kita sudah sampai, tidak mungkin kita keluar lagi, demikian Irwan menenangkan dan menggamit lengan istrinya, mereka melangkah terus melewati samping rumah dan ternyata tiba di halaman belakang.

Lalu pemandangan berikutnya: seorang bapak berperut buncit, berkumis tipis dan berkulit hitam, dengan baju batik halus dan celana komprang. Irwan sekejap merasa seperti ada pada masa lalu, ketika keraton dan kerajaan masih sangat berkuasa. Dan memang ibu itu benar, ketika mereka saling berhadapan, terasa aura tuan rumah melingkupi sekitar, rupanya dia orang yang sangat berkuasa sekaligus percaya bahwa dia itu berkuasa. Tapi sorot matanya baik dan terlihat pengayom, “Silahkan duduk”, kata tuan rumah. Lalu sedetik kemudian Irwan menjadi tenang, Mereka lalu mengambil posisi duduk tepat di depan tuan rumah.

“Di tempat ini saya bisa lihat matahari terbit setiap hari…” orang itu membuka pembicaraan dengan kalimat yang tak Irwan mengerti, lalu seperti tidak peduli dia melanjutkan lagi “Itu yang guru saya—namanya Suprihatin—katakan sebagai awalan, ketika seorang anak muda bernama Larung datang dengan maksud ingin diberi tahu cara membunuh neneknya.”

Irwan mengerutkan kening, bapak itu terus melanjutkan

“Tapi saya kira itu juga jadi alasan saya untuk tinggal di tempat ini, bahkan banyak menghabiskan waktu di halaman belakang, karena saya suka matahari. Bukankah itu alasan, euh… siapa?”

“Irwan pak, ini istri saya Nisa…”

“Ya, itu salah satu alasan kamu menempati rumah yang baru itu, karena matahari mudah masuk ke sana, betul begitu?”

Lihat selengkapnya