Lalu beginilah penyesalan pertama itu datang:
Sudah berminggu-minggu dia dan istrinya tinggal di sana, tak banyak dia bergaul dengan penduduk lain (tak seperti istrinya, mereka memang berbeda). Tapi dia mendengar sedikit-sedikit bahwa kandang babi itu sudah dibangun kembali, rupanya proses negosiasi sudah lancar? Entahlah, Irwan hanya bertekun menjalankan agendanya: setiap pagi sepulang shalat subuh di masjid dia akan mengerjakan pekerjaannya di laptop sambil menghadap jendela yang terbuka.
Sampai pada suatu hari, ketika dia dengar berita—suara ibu-ibu yang bicara rupanya terlalu keras menembus jendela kamarnya—babi-babi itu mulai didatangkan. Detik berikutnya Irwan mendapati istrinya masuk kamar dan mengeluh sakit saat buang air kecil, khawatir itu adalah batu ginjal maka siang itu mereka pergi ke dokter, satu jam perjalanan ke arah kota dan inilah hasil yang didapatnya: ternyata istrinya hamil.
Dia sering mendengar orang berkata memiliki anak itu membahagiakan, dan kini dia merasakannya. Setiap hari dia selalu takjub melihat perut istrinya yang membesar, dan perempuan itu juga kelihatan makin cantik.
Dia sudah lupa pada kalimat bapak tua itu, Abah Anom, yang juga makin jarang bertemu kecuali dari jarak jauh, dan ternyata memang di tempat ini ada masjid, lalu mengapa bapak tua itu mengatakan tidak ada? Irwan menangkap jawabannya setelah rutin shalat berjamaah di sana. Memang tak ada aktifitas yang bisa menghidupkan masjid kecuali shalat subuh empat makmum satu imam, shalat Jumat dengan sepersekian laki-laki desa yang datang, sisanya mungkin ketika hari Raya. Maka pantas bila dikatakan tak ada masjid, sebab apa bedanya masjid mati dengan tak ada sama sekali?