Hanya itu? Irwan bertanya dan istrinya mengiyakan. Dipandangi bola mata bidadarinya itu yang makin hari makin jernih, makin cantik, makin merona warna telaga. Dia melirik, perut istrinya sudah lebih membesar. Anakku, apa jadinya bila ibumu minum air yang sama dengan mereka? Irwan resah karena dia tahu semua air di desa itu ada hubungannya dengan sungai, sumur serapan yang dibuat untuk menaikkan kuantitas air berbalik jadi memancarkan air dengan ampas bungkil. Irwan tahu apa saja yang ada di sana: daun, kacang, ubi jalar, ketela, kentang, gamal, kelor, tepung beras, tepung jagung, lumpur, tahi, kencing, bulu, semuanya sisa babi!
Sungguh, Irwan merasa terjebak untuk kesekian kali, dia ingin melarikan diri, dia tidak ingin kehilangan lagi, Tapi ketika dia memutuskan bahwa pada akhirnya kandang babi itu akan mengganggu dia dan keluarganya, maka tidak ada alasan untuk diam. Ini semua mungkin bukan untuk disebut pahlawan penyelamat desa atau apapun juga, tapi aku berjuang demi istri dan anakku!
Tanpa sadar mereka bertatapan dan istrinya menangkap goresan duka di mata Irwan. Ada apa? Tanya istrinya. Dia menggeleng dan memeluk, ada rasa cemas masuk, sejak kehilangan Adim dan menyaksikan pembakaran itu dia selalu takut mengambil keputusan, dia menjelma menjadi orang yang lebih suka sendirian dan tak mendengar apa-apa.
Dia membelai rambut istrinya, diucapkannya kalimat-kalimat seperti aku ingin bertindak tapi tidak dengan cara kekerasan, aku ingin berjuang tapi dengan menyatukan desa dan bukan memecah belahnya, aku ingin bicara dengan orang-orang yang pro pada peternakan babi itu dan bukan ikut-ikutan menggalang kekuatan dengan mereka yang kontra. Lalu di ujung kalimatnya dia mengeluh
“Saya mau, tapi saya sendirian…”
Tertegun dia, bukankah itu jawaban Adim saat dia bertanya tentang sebuah perlawanan? Kini kesendirian itu terasa lain, sebab dia tahu penduduk memiliki cara kekerasan yang jelas tidak disetujui sesepuh desa. Tapi mobilisasi damai itu? Bukankah itu caranya dulu melawan rentenir? Dan gagal...
Dalam pelukan, istrinya bidadari yang selalu mengerti pikiran Irwan mengucapkan satu kalimat. Pendek tapi cukup menusuk “Akang nggak sendirian, mau coba minta bantuan teman-teman?”
Irwan mengerti siapa yang dimaksud dengan teman-teman. Terbayang di benaknya ketika dia masih usia dua puluh empat. Saat dia berada dalam sebuah kumpulan teman-teman sebaya yang sudah diikutinya dua tahun kebelakang, kumpulan kelompok kecil yang seperti sebutir buah anggur dalam setandan anggur, dan seperti bagian dari setandan anggur di dalam pohon anggur. Setiap saat mereka melingkar bersama seorang yang agak lebih tua. Senior di kampus, seseorang bertubuh kecil dengan guratan hitam di kening. Katanya itu tanda orang yang sangat serius dalam bersujud. (Benarkah? Siapapun tak terbiasa bertanya, itu adalah hal mutlak yang dipercaya. Guratan hitam di dahimu, kamu sering bersujud. Itu saja.)
Namanya Riki, orang yang gerak-geriknya terlihat sering menjauh dari keramaian, bersujud sepanjang malam, dan meyakini apa yang ada di dunia tak lebih dari perjalanan menuju surga atau neraka. Dia percaya pada perjuangan lewat kekuasaan di pemerintahan, dan untuk itu dia bergabung dengan sebuah partai berlabelkan agama. Lalu kepercayaan itu dia tularkan kepada mahasiswa baru di tiap kampus. Senior menyebarkan pengaruh pada junior, mempersiapkan junior untuk bergabung dengannya. Ketika anggota membanyak dan keteguhan hati meningkat, maka perjuangan akan terasa mudah. Begitulah yang Riki percayai.
Terdengar klise? Mungkin saja, sebab hal seperti itu sudah sangat gamblang. Riki adalah sebagian kecil saja dari gelombang pergerakan itu, di luar sana banyak Riki-Riki yang lain, mereka semua hampir sama dan seragam. Tapi Riki yang ini mungkin agak berbeda, dia adalah tipikal orang yang suaranya selalu didengar pada rapat-rapat kelompok dan rapat partainya.