Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #13

IRWAN: Penyesalan Ketiga

Kembali pada pertanyaan lama. Apakah memang benar di surga sana ada sebuah pohon yang pada daunnya terukir nama semua manusia? Bila memang begitu, pastilah pernah ada selembar daun yang paling halus gugur hingga membuat malaikat sibuk menangkapinya, membaca namanya dan sama-sama menangis karena kesedihan dan kerinduan yang menyayat. Mereka sedih, karena meski tak memiliki keinginan, namun mereka mengerti arti kehilangan. Pada saat yang sama pun mereka rindu untuk bertemu manusia dengan jiwa yang cantik. Tapi mereka pun tahu bahwa mendapatkan manusia itu berarti menggores hati seorang lelaki.

Maka beginilah kisah seorang suami yang kehilangan istrinya:

Irwan, entah berapa lama dia mencari, mungkin sehari, mungkin dua hari. Sudah dihubunginya orang-orang yang kenal dengan dia dan istrinya, tetangga sekitar rumah sudah disambangi, pemilik kontrakan sudah ditemui, lalu entah berapa puluh orang yang sudah dia hubungi termasuk mertua dan orangtuanya, tapi istrinya seperti menguap ditelan langit. Mungkin memang benar malam tidak hanya mampu menelan terang tapi juga menelan salah satu penghuninya. Irwan yakin istrinya menghilang di tengah malam, ketika saksi mata di desa seterpencil itu hanya burung hantu dan kelelawar. Tapi pertanyaannya kemana dia sekarang? 

Sampai satu pagi, pintu rumah diketuk dan serombongan orang kampung berdiri di sana, mengucapkan salam, tidak bertanya nama tapi menyebutkan sebuah kalimat pendek bahwa istrinya telah ditemukan, tapi mereka tidak menganjurkan Irwan ikut (salah satu dari mereka berkata: nanti kami antarkan bu Nisa ke sini) tapi Irwan bersikeras ingin ikut sebab ada perasaan melonjak, sebab tak satupun dari mereka yang bercerita banyak, hanya mata mereka begitu berat oleh warna kelabu. Irwan merasa tidak ada yang baik-baik saja dalam sorot mata itu.

Ketika itu muncul sesepuh desa, Abah Anom, yang tanpa bicara apa-apa menembus rombongan orang itu dan merangkul bahu Irwan, mengajaknya berjalan. Pada rombongan orang itu Abah Anom berkata “Dia harus jemput istrinya sendiri…” lalu mereka berjalan dalam iringan, Irwan merasa dia lebih seperti diseret daripada ditunjukkan jalan. Mereka menembus jalan yang tak biasa, seperti hendak pergi ke peternakan babi tapi lewat jalan belakang.

“Mau kemana kita?” dia bertanya tak sabar. Sesepuh desa itu menatapnya tepat di mata dan berucap “Jangan tanya kenapa karena jawaban tidak akan membuat kamu percaya!” kali ini ada tekanan dalam suaranya. Sebuah tekanan yang entah kenapa memaksa Irwan terdiam dan terus melangkah.

Benar, mereka tiba di bagian belakang peternakan babi, sebuah tempat yang dipakai babi-babi itu ketika siang hari, mereka menuju sebuah arena berlumpur yang dikelilingi pagar kayu, hampir mirip lapangan kuda tapi lebih kecil setengahnya. Disana sudah banyak orang berkumpul (mereka seperti menyingkir, memberi jalan ketika rombongan itu lewat karena istriku? Aku? atau bapak tua ini?), lalu ketika sampai, jelaslah apa yang terlihat.

Lihat selengkapnya