Langit belum kemerahan sebab matahari belum sampai di cakrawala. Tapi langit itu begitu biru dan berawan, bagus sekali. Langit itu seperti sedang menaungi kedua lelaki yang kini masuk ke sebuah café dan duduk berhadapan di sebuah meja.
Pelayan datang, mengangsurkan daftar makanan, lalu berdiri di sebuah sudut, kedua lelaki itu membaca menu, melambaikan tangan, pelayan datang lagi, kedua lelaki mengucapkan pesanan, pelayan mencatat, mengulangi menyebut pesanan, mengambil kertas menu, pergi. Sebuah prosedur standar yang seperti upacara wajib di mana-mana. Kini kedua laki-laki itu seperti tenggelam dalam lamunan masing-masing, salah satunya Irwan.
Tiga hari setelah kematian istrinya, ada kekosongan yang menyebak setiap kali dia di rumah, maka itu dia memilih jalan-jalan ke luar. Tapi di luar pun dia selalu berusaha menghindari keramaian, khawatir bertemu orang yang dikenal dan orang itu mengucapkan belasungkawa. Irwan mendadak benci dengan ucapan belasungkawa, rasanya seperti membuka kembali sebuah luka, seperti dipaksa mengingat bahwa kita sudah kehilangan seseorang di kala kita ingin melupakannya.
Tapi dia pun enggan sendirian, maka dia mengontak lelaki temannya ini. Irwan mengenal lelaki ini dari sebuah milis filsafat yang tidak sengaja dia ikuti. Selama ini mereka berdua memang sudah sering bertukar surat elektronik meski jarang sekali bertemu muka. Itulah ajaibnya internet, benda itu mampu mewakilkan wajah dan identitas pada sebuah tanda @ yang sangat sederhana.
Irwan cukup menyukai sahabatnya ini. Orangnya tidak bisa dibilang pendiam, sebab kadang bisa juga dia mengoceh tanpa henti. Tapi yang Irwan suka (terutama dalam kondisi begini), sahabatnya itu adalah orang yang sangat “garis lurus”, maksudnya begini: Hidupnya hanya dipakai untuk menatap dan membicarakan berjalannya hidup. Dia tidak tertarik dengan titik-titik kecil yang jadi penanda sejarah.
Contohnya begini: dia tidak peduli pada ulang tahun karena baginya ulang tahun tidak penting, bukankah kalau nasib menentukan maka tahun depan ulang tahun bisa saja ada lagi? Atau dia tidak peduli pada kematian karena semua orang juga bisa mati, jadi apa istimewanya? Ah, Irwan merasa tidak bisa memberi contoh lagi, hanya ilustrasi sederhana seperti itu. Tapi begitulah temannya, bahkan Irwan merasa temannya ini sebenarnya tidak terarik pada apapun.
Maka Irwan percaya, temannya tidak akan mengucapkan belasungkawa. Memang dia mengajukan pertanyaan, tapi bukan ucapan belasungkawa. Itu berbeda. Seperti saat ini, mereka duduk di café, pesanan sudah datang. Cheeseberry pancake ditambah teh tarik untuknya, temannya memesan cappucino. Laptop Irwan terbuka di meja, internet tersambung lewat hotspot, meski Irwan tidak yakin untuk apa, tapi itu sudah jadi kebiasaannya. Sementara temannya menekuni satu buku, mungkin novel. Mereka belum banyak bicara, tapi anehnya Irwan lebih nyaman begitu.
“Baca buku apa?” Irwan bertanya
“Larung, Ayu Utami.”
“Kamu suka dia?”
Temannya mengangguk “Aku suka bukunya, bukan suka penulisnya. Maksudku, aku selalu suka buku dan tidak terlalu suka penulis-penulisnya. Makanya aku bingung kalau ada orang yang sampai berebutan minta tanda tangan seorang penulis, atau sampai jadi penggemar seorang penulis.
“Kenapa”
“Karena buku-buku itu abadi, isinya tidak berubah. Jadi kalau kamu suka pada sebuah buku, dijamin buku itu tidak akan berubah. Maka kamu akan bisa terus menyukainya sampai kapan juga. Sedangkan para penulis? Mereka juga manusia biasa, kenapa harus disukai? Toh mereka bukan nabi!”
Irwan tersenyum, menyeruput teh, dia sudah mlai maklum pada sikap-sikap sinis temannya ini.
“Lagipula,” sambung temannya “tidak semua karya seorang penulis itu cocok, jadi aku hanya memilih buku-buku yang menurutku bagus. Untuk Ayu Utami aku suka Saman dan Larung saja, novel ’Bilangan Fu’ jelas tidak. Kalau tetralogi Laskar Pelangi, aku paling benci buku pertama, sisanya lumayan lah. Itu juga berlaku untuk yang lainnya. Kamu sendiri? Buku yang dari aku sudah beres dibaca?”
Irwan berusaha mengingat-ingat, terakhir dia meminjam buku apa? Betapa pukulan kesedihan kadang membuat lupa ingatan.
“Saya pinjam buku apa?”
“Dua buku, semuanya biografi, Hasan Al Banna dan Hidayat Nur Wahid.”
“Oh iya, Hasan Al Banna sudah selesai. Hidayat Nur Wahid saya tidak tahu, istri saya yang pinjam. Nanti saya kembalikan.”