Irwan berbaring menatap malam lewat genting kaca di atasnya. Jam menunjukkan lewat sedikit dari tengah malam. Dia menutup matanya. Di luar sisa gerimis masih tersisa. Dingin dan lembab. Dalam sekejap dia masuk ke ambang tidur.
Ketika itu antara sadar dan tidak, di sampingnya terasa ada sosok perempuan. Agak miring membelakangi. Rambutnya terurai menutupi sebagian wajah. Antara tidur dan terjaga dia mendengar ada yang memanggil namanya. Satu kali. Suara istrinya. Sosok perempuan itu berbalik dan mereka bertatapan. Wajahnya sedingin es, direngkuhnya wajah itu dan dibisikan kata tidak mau berpisah lagi.
“Nisa, kau masih istriku kan? Kamu tahu aku tidak pernah memiliki seorang pun yang kucintai. Aku merasa dikhianati. Aku seperti terlahir sebagai anak tunggal. Mungkin memang aku harus selalu sendirian…”
Mendadak ada sesuatu—entah apa—mengejutkannya, membuatnya terduduk waspada. Peluh membanjir di punggungnya. Rasanya masih tersisa bau kapur barus dan wewangian dari kain kafan. Bau jenazah istrinya. Sedetik kemudian dia teringat ibunya. Lalu telinganya yang awas mendengar suara lain yang bukan suara gerimis. Dia melompat turun, membuka pintu kamar dan melihat api sudah menjilat setinggi langit-langit, dapur dan bagian belakang rumah sudah hangus dan kini api menjalar ke depan.
Dia merenggut kunci dari gantungan lalu menghambur ke pintu depan. Api makin menyambar-nyambar dan mulai bergerak sepanjang atap. Tapi entah kenapa gerakannya terhalang, ada dorongan mendesak untuk kembali ke kamar menyelamatkan laptop dan anehnya badannya mengikuti dorongan itu, dia menyambar laptop di atas meja dengan siku tangannya dan ikut juga beberapa benda yang ikut teraup.