Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #16

INDRA: Di Sebuah Cafe, Bersama Teman

Disebut apakah sebuah cerita yang diawali dengan kematian dan kesepian?

Indra Pratama, sedang merenungkan pertanyaan tadi, sebab akhir-akhir ini pertanyaan itu selalu mengganggunya di saat yang tak tepat, seperti saat ini. Di sebuah cafe, tempat orang-orang melepas penat ditemani minuman hangat atau roti coklat, dia malah memikirkan kematian. Ah, sialan!

Dia memiringkan wajahnya menatap lemari kaca, menatapi gelas-gelas yang berjejer di atas rak, menatapi warna kehijauan yang bergerak seiring cahaya lampu mobil di jalan. Dia menoleh lagi ke arah lain, terlihat botol-botol terisi setengah, menonjolkan bias biru dari bohlam di langit-langit. Lalu dia merasa sangat ingin menulis puisi:

Tiba-tiba kuingat kamu, kulihat wajahmu di mana-mana, kamu yang cantik. Aku yang selalu tergila-gila pada raut wajahmu, aku yang sekarang berdiam di cafe ini untuk menunggu temanmu. Sudah lewat setengah jam dari perjanjian tapi dia belum juga datang, tidak apa-apa, aku pernah menunggumu lebih dari satu tahun dan aku baik-baik saja.

Sekejap kemudian dia merasa bosan, dan untuk membunuh rasa itu dia kembali memperhatikan seputar cafe, tempat ini wangi capuccino (seperti minuman yang dia pesan), memang sepertinya semua orang yang ada di sini sedang meminumnya tapi sudah lama dia curiga wangi itu bukan keluar dari asap yang mengepul keperakan dari tiap gelas, tapi dari dinding-dindingnya yang memang berwarna seperti capuccino, dengan lampu dinding yang sekilas berwarna temaram tapi tetap terang, warna-warna itu jadi semakin mirip secangkir cappucino hangat.

Dia baru melepas temannya yang sedang sedih karena istrinya dibunuh, lalu sekarang dia duduk sendirian menunggu orang lain, dia sendirian, kesepian, tapi baik-baik saja. Di pikirannya melayang-layang frasa tentang kematian. Sebuah kematian sama dengan sebuah kehilangan. Ini seperti sesuatu yang dirampas tiba-tiba di depan batang hidung tanpa mampu melawan. Atau seperti sebuah harapan yang tidak bisa diperpanjang karena ada yang lebih berkuasa menyuruh kalian pulang.

Lalu dia kembali menulis sesuatu di memorinya: Ah, apakah kau sudah mati? Kau yang cantik, kau tak akan mati, atau setidaknya kau belum mati. Tapi kenapa aku sudah merasa kehilangan?

Dia menoleh ke arah televisi dekat bar, seorang reporter sedang memberitakan bahwa di sebuah tempat di negeri ini ada seorang perempuan yang dibunuh dan mayatnya dikubur dalam tumpukan makanan babi. Dia mendengarkan sekilas dan merasa tahu siapa perempuan itu, tapi tak mau mengingat-ingatnya lagi. Rasanya sebuah pembunuhan sudah terlalu sering hingga telinga kita sudah kebal dibuatnya. Bukankah setiap hari sudah kita dengar kebobrokan, penyelewengan, pembunuhan, pencurian, perkosaan, darah, darah, darah! Dia menghela nafas, penat sekali, kapan kita terbebas dari urusan kematian dan kehilangan? Seperti aku kehilanganmu.

Kini kulihat temanmu datang, dia mendorong pintu cafe, lalu melihat mejaku, tersenyum, betapa dia merasa sangat menyukai setelan baju orang yang baru datang itu. Kesannya santai dan sederhana. Ransel, sepatu kets, sweater kuning, celana jeans, kerudung putih, kacamata minus. Perempuan itu tidak berubah sejak pertemuan pertama mereka dua belas tahun yang lalu.

Sesaat kemudian baris-baris ini tercipta seperti sebuah soneta di otaknya.

Aku mengenalnya jauh sebelum mengenalmu. Tapi aku mengenalmu tidak melalui dirinya, aku mengenalmu ketika kau yang datang sendiri padaku, kau bawa air mata, kutawarkan sapu tangan. Lalu kau pergi membuatku memiliki air mata, dan sampai sekarang aku tak punya sapu tangan.

Apakah kamu salah? Aku tak berani menyalahkanmu, kau terlalu sempurna di mataku untuk memiliki sebutir kesalahan. Tapi setelah kau menjauh kurasa tak mungkin membuatmu dekat lagi.

Jadi kutitipkan air mata ini di sebuah sudut kota, dan aku ingin melupakanmu dengan segera. Celakanya ini tak semudah ketika kita bertemu, ketika ingin berpisah justru aku membutuhkan seseorang untuk melakukannya.

Seseorang itu adalah temanmu ini.

“Hai, sorry... telat ya? Mobilku lagi masuk bengkel, biasalah servis rutin, sekarang habis dari sini juga mau aku ambil, terus tadi ada dosen gitu deh yang minta ditunggu, dosenku itu selalu ngerasa kalau kita mahasiswa nggak punya kegiatan lain selain nungguin dia, jadi kelakuannya masih kaya ke anak S1, padahal sudah S2 gini!”

Perempuan itu dengan lugas duduk di depannya, menepuk-nepuk baju yang agak lembab, memanggil pelayan, dan tanpa melihat daftar menu—seperti sudah berkali-kali datang kesini—dia memesan minuman sambil tetap berceloteh.

“Susu coklat, panas! Gila dingin banget di luar!”

Dingin? Indra melirik ke jendela, rupanya dia terlalu dalam melamun sampai tak tahu kalau gerimis sudah menyirami kota. Gerimis selalu membuatnya melamun, gerimis selalu membuatnya dihinggapi perasaan yang sangat temaram, apakah gerimis selain membawa dingin juga membawa kesedihan?

Lihat selengkapnya