Indra menoleh ke arah televisi, channel sudah berpindah, reporter yang bicara sudah berganti, tapi kenapa berita yang disiarkan masih sama? Mereka masih saja memberitakan tentang sebuah kematian. Apakah itu begitu penting?
“... korban menderita luka di perut dan hantaman benda tumpul di kepala… ada indikasi perkosaan…”
Cerita biasa, tak ada yang menolehkan kepala. Tidak juga Indra, dia berpikir, apa dirinya sudah terlalu bebal? Atau mungkin terlalu bosan dengan kehidupan? Masih adakah yang peduli pada sepotong berita seperti itu? Dia merasa jawabannya tidak, entah dengan jawaban orang lain.
“...menurut salah seorang warga yang mengenalnya, korban adalah seorang wanita berusia dua puluh lima tahun berinisial AN…”
Pikirannya meliar, menerka-nerka apa yang dipikirkan perempuan itu sebelum mati? Sialan! Dia merasa berpikir terlalu dalam tentang kematian, dia merasa harusnya beranjak dan mematikan televisi itu, tapi ternyata tak bisa …
"… tim penyelidik akan menindaklanjuti kasus terbunuhnya AN... ada kemungkinan korban terbunuh karena sengketa warga soal peternakan babi di…”
Indra memalingkan wajah seiring reporter itu melenyap. Kembali bosan menyergap. Sekilas sudut matanya menangkap Airin yang sudah memegang tombol pintu. Mendadak Indra merasa ingin selalu ada di dekatnya, maka dia segera bangkit, meninggalkan uang di meja, dan mengejar Airin.
“Air, aku ikut!”
Airin berhenti, menoleh, memandang aneh, “Ikut kemana?”
“Pulang.”
“Memang kita searah?”
“Tidak, tapi kita bisa jalan sampai lampu merah itu kan?”
Maka mereka berjalan bersama, berlawanan arah dengan orang-orang yang juga tergesa di bawah gerimis. Indra sibuk menangkap baris-baris kata yang mendadak menyambangi: sebab aku merasa bahwa hujan adalah sesuatu yang indah, maka aku selalu merindukan hujan. Kini memang tidak hujan, tapi gerimis bisa jadi alasan cukup untuk mengobati kerinduan.
“Kamu lambat banget sih jalannya! Aku tinggalin ya?”