Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #18

INDRA: Sulisati

Jam tiga pagi, Indra terpejam di kamarnya, tapi tidak tidur. Telinganya masih cukup awas mendengar serbuk gerimis menimpa dedaunan. Rupanya langit belum berhenti menangis sejak tadi. Hai, adakah semesta menyakiti hatimu?

Pada saat-saat begini, di hatinya sering muncul rasa sepi, rasa ingin dimengerti yang sangat dalam meski tak jelas kepada siapa. Untuk melupakannya dia sudah berusaha untuk tidur, tapi memang akhir-akhir ini dia selalu insomnia, sudah beberapa malam pekerjaannya hanya menghela nafas dan menghitung bintang. Memangnya apa lagi yang bisa dilakukan saat malam tiba dan kamu mendapati jiwamu sendirian?

Lama-lama penat rasanya menantikan kantuk yang tak juga ada, dia bangkit, menyalakan lampu, menyalakan laptop, menyalakan program musik, menuang air panas ke dalam gelas, membuat kopi. Memeriksa kotak obat, ternyata obat tidurnya habis, dia mengeluh pendek. Dia duduk, menatap pendar cahaya monitor, merasakan musik yang meraung-raung tak jelas, kini yang terdengar adalah suara gitar listrik yang seperti menangis. Tidak jelas komposernya siapa, lagunya apa. Dia sendiri merasa heran, siapa orang aneh yang memasukkan lagu ini ke laptopku?

Lalu dia membuka pekerjaannya yang sudah lima hari terbengkalai, menatap barisan huruf yang berderet. Sejenak mereka terasa asing, mungkin karena lama tak jumpa. Kalau begitu bagaimana cara melanjutkan pekerjaan ini? Tapi dia memaksakan untuk menulis satu kata, disambung satu kata, membentuk satu kalimat, dua kalimat dan seterusnya. Lancar, mereka tak asing lagi.

Betapa menyenangkan bila hidup bisa seperti deretan huruf ini, sebab aku kadang bangun pagi dan merasa asing dengan hidup, ribuan pertanyaan menari, mengapa aku ada di sini? mengapa aku tidak di sana? dimana aku? siapa aku?

Orang tua yang bijak selalu bilang di dunia ini ada banyak pertanyaan tapi hanya sedikit jawaban, mungkin itu sebabnya setiap pertanyaan tak terjawab seluruhnya. Bila rangkaian huruf terasa asing, maka paksakan saja untuk dirangkai kembali. Tapi ternyata hidup tak sesederhana itu, bila hidup mulai terasa asing dan kita memaksakan diri untuk merangkainya, kadang malah hidup makin terasa asing.

Tak lama, dia merasakan kamar meredup, siapa yang menghalangi cahaya lampu? Lalu antara sadar dan tidak, dia melihat sosok itu. Sulisati. Awalnya sosok itu bergerak seperti kabut lalu menjelma sempurna di sebelahnya, Indra menatap wajah sosok itu wajahnya yang sangat mirip dengannya, sayangnya dia perempuan. Hari ini entah kenapa sosok itu datang lebih awal.

Berulang kali Indra bertanya-tanya, apakah ini semacam fatamorgana? Tapi tidak, dia meyakini sosok Sulisati yang sempurna, Sulisati tersenyum “Indra, apa kabar?” suaranya begitu sendu, seperti tidak keluar dari sepasang bibir yang lagi-lagi begitu mirip milikku. Indra tergagap, tidak menjawab, betapa dia terpesona oleh Sulisati yang menjelma seperti dirinya dalam sosok perempuan. Kemudian sosok itu berpuisi, dengan matanya memancarkan ekspresi misterius

Adakah yang lebih agung selain mengucap namamu di sebuah waktu, ketika bulan tak lagi penuh seumpama bidadari bersembunyi di balik cadar hitam agar keindahan tak terjamah oleh mata liar sang durjana sepertiku?

Indra terdiam, puisi itu… rasanya aku kenal, tapi apa? Sulisati tersenyum dan tanpa beranjak dia membelai punggung tangan Indra. Aneh, jemarinya terasa hangat di permukaan kulit, berarti dia nyata! Sejenak kemudian sosok itu bicara

“Ayo teruskan, kita sudah membuat puisi itu bermalam-malam.”

“Aku lupa!” Indra berkata spontan, dia coba menekan suara agar tak mendecit, tapi sepertinya gagal, dia terlalu terpesona dengan penampakan sosok itu

 “Ayo, teruskan, kamu pasti ingat.”

Lihat selengkapnya