Indra menarik sebuah buku dari tasnya, menyodorkan pada temannya. Temannya memandang sampul buku, membaca judul, memandang Indra. “Larung, karangan Ayu Utami? Ini salah satu buku yang kamu suka kan?”
Indra mengangguk, “Kalimat itu ada di halaman 222, dan aku percaya memang realitanya seperti itu”
Temannya membuka buku itu, membaca sejenak, bergumam “Kekejaman yang seperti apa ya?”
Indra menggeleng, betapapun dia tidak bisa menebak sebuah kekejaman karena manusia bisa melakukan apapun sampai level kekejaman yang tidak bisa dijangkau lagi akal sehat. “Sekarang aku minta kamu jangan kecewa lagi pada mereka, apalagi masalah istrimu sudah ditangani polisi, biarkan mereka bergerak dengan mimpinya mengubah negara atau apapun lah, tidak ada yang bisa diharapkan dari mereka kalau menyangkut hal-hal seperti ini.”
“Saya memang sudah memutuskan untuk keluar.” Temannya memandang lurus ke jendela café, tidak tahu apa yang ada di pikirannya “rasanya berpikir dan bertindak sendirian itu lebih baik ya?” tidak jelas dia bertanya pada siapa.
Mereka terdiam dengan pikiran masing-masing. Tema pembicaraan mereka tadi secara tidak langsung mengubah suasana meja dan mereka seperti sepakat diam untuk menetralkannya lagi.
Indra menyeruput kopi yang menghangat, asap keluar dari gelas itu. Melayang sejenak sebelum lenyap. Dia memandangi asap, seperti memandangi sebuah pertanyaan. “Setelah rumahmu habis, sekarang kamu tinggal di mana?”
“Untung ada teman saya yang punya rumah kosong sampai waktu yang tidak terbatas, dia sedang di luar negeri dan dia ijinkan saya tinggal di sana.”
Indra menatap ke luar, merasakan malam yang masih bergerak seperti lagu yang tidak pernah selesai, di luar kehidupan makin berwarna. Seperti neon-neon yang ada di dinding-dinding gedung, di dinding hotel, bar, diskotik. Neon yang membuat siapapun tertarik untuk memasukinya. Ah, kenapa juga hanya bangunan-bangunan itu yang diberi neon berwarna? Sedangkan banyak bangunan lain yang sepi tanpa pengunjung padahal seharusnya ramai dikunjungi. Mungkin karena tidak ada neon berwarna di dindingnya.
“Saya mau pulang, kamu mau ikut?”