Malam itu Indra bertanya-tanya, apa yang bisa didapat dari sebuah mimpi? Jawabannya: tidak ada kecuali kenangan yang terselip di sudut memori. Malam ini Indra juga bertanya-tanya, entah sejak kapan dia merasa tidak insomnia lagi?
Akhir-akhir ini dia bisa tidur lebih cepat, tapi seringkali dia terbangun mendadak di tengah malam dengan keringat membanjir, padahal dia tidak mimpi apa-apa. Tidak mimpi seram, sesekali Sulisati masih menghampiri, tapi itupun seperti biasa, mengajak berpuisi, mengajak tersenyum dan menyatakan cintanya yang terdalam. Seperti saat ini, ketika dia memilih menatap ke luar dan mendapati aroma kehidupan malam. Mendadak dia merasa seperti kehilangan seorang kekasih, sesuatu menggores, ada apa ini? Tidakkah perasaan ini akan terus menemani sepanjang malam? Bagaimana cara melupakannya? Dengan tidur? Dengan tenggelam dalam barisan huruf lagi? Dengan pergi ke sebuah cafe yang buka dua puluh empat jam?
Indra membayangkan pergi ke tempat seperti itu, memesan secangkir kopi dan beberapa potong makanan, menanti malam berganti pagi mendengarkan lagu jazz (Satu alunan dari Diana Krall, Time and Again sepertinya cocok sekali). Tapi pertanyaannya: bagaimana kalau malam tidak berakhir dan waktu berhenti? Bukankah itu artinya café tidak akan tutup selamanya? Lalu berapa cangkir kopi yang harus kupesan? Berapa piring makanan yang harus kubayar? Sambil menunggu malam yang seakan bergerak seperti lagu yang tidak akan selesai.
Lalu tiba-tiba Indra jatuh tertidur, (atau mungkin juga tidak?) Sekarang dia melihat sebuah jalan yang membentang seperti tak berujung, di langit bulan purnama sempurna, cahayanya keperakan, dia tidak melihat siapa-siapa, di kiri kanan hanya ada bentangan sawah yang juga berwarna keperakan, dia berdiri entah dimana, sampai dia percaya kalau ini memang mimpi. Lalu dia melangkah, maju, jalan itu terus saja memanjang, tak tahu ujungnya di mana, dia melangkah di tengah cahaya bulan menuju satu titik.
Di sana, ada seorang perempuan, berjilbab lebar, warna merah, jilbab itu berkibar-kibar. Kutatap wajahnya, aku yakin pada hari-hari biasa dia pasti cantik, tapi kali ini mendung bergantung di sana. Ada sesuatu yang memudarkan cahaya wajahnya. Siapa dia? Aku tak kenal.
“Kamu bukan Sulisati?” Indra bertanya.