Jam dua malam, lebih sedikit. Di luar hujan lagi, tidak cukup lebat tapi cukup membuat udara jadi basah. Indra sedang termenung-menung di kamar, sejak tadi dia sedang mendengarkan suara hatinya yang riuh berbicara, kadang pembicaraannya tidak bisa dimengerti. Sudah sejak sore dia memutuskan untuk tidak tidur, dan itu tidak ada pengaruhnya sebab memang sudah dua hari dia tidak tidur.
Tiba-tiba HP-nya berbunyi, lagu Copacobana menggema, nomor pengirimnya tidak ada, kenapa disembunyikan? Empat lima kali lagu itu terulang. Indra tidak mengangkatnya, tapi saat terulang sepuluh kali, dia mengangkatnya juga, dan suara itu menyergap.
“Halo...” Suara Sulisati! terdengar menggantung, Indra tidak tahu apa yang Sulisati pikirkan. Tapi bukankah apa yang dia pikirkan selalu sama denganku? Bukankah aku dan Sulisati selalu sama?“
Halo, ya ini aku, sedang apa disana?”
“Aku? Aku sedang melihat langit!” Suaranya penuh antusias.
“Apa yang kau lihat?”
“Merah, kuning, orange, jingga, nila...”
“Dan apa?”
“Ada juga warna cinta.”
Indra merenung, percakapan apa ini? “Kau yakin?”
“Ya aku yakin, dan apa kamu juga sedang melihat langit?”
“Ya.”
“Dan apa yang kau lihat?” suaranya mendesak seakan sangat perlu dijawab.
Indra merasa saatnya berpuisi “Hanya cinta, tak ada warna.”
“Kukira saat ini sedang malam disana, benarkah? Atau senja jugakah?”
“Ya, kukira begitu.” Jawaban Indra tidak jelas, mengambang. Dia sendiri tidak yakin sedang ingin bicara dengan Sulisati. Tapi kalau dia yang meneleponku, aku juga tidak bisa apa-apa
Klik, bunyi telepon yang ditutup. Indra juga menutup teleponnya, kurasa tidak ada yang bisa menjelaskan warna jingga yang dia maksud, seperti juga cinta yang kumaksud. Langit kita mungkin sama, tapi warnanya tidak.