Besok malamnya, Indra kembali bermimpi tentang perempuan itu, lalu dia terbangun lagi dengan keringat membasah, tremor di seluruh sendi dan pucat pasi. Perasaan itu begitu hebat hingga dia memutuskan untuk menuliskannya, tidak seperti sebuah catatan harian, bahkan lebih mirip sebuah surat yang ditujukan entah pada siapa. Apakah semua surat memang harus punya alamat tujuan?
Maka beginilah dia menuliskan mimpinya yang kesekian kali:
Aku terbangun dengan sisa tangis. Kadang aku tidak mengerti kenapa aku harus menangis, menangis mungkin menunjukkan kita masih punya perasaan. Tapi apa hidup kita yang hanya sekali ini hanya dihabiskan untuk menangis?
Kupandangi langit. Ada awan membentuk wajahmu, rupanya kau menyapaku. Aku kenal kamu, kamu kenal aku, atau sebenarnya kita tak saling mengenal dengan baik? Aku yakin kau ada di kota yang sama denganku meski kita tidak pernah bertemu.
Apakah kau masih bisa memiliki tenaga untuk berjuang? Aku tidak, sejujurnya aku lemah. Tapi kau sempat menyapa, dan aku menguat lagi. Terimakasih. Aku ingin berbuat lebih lebih dari mengucapkan terimakasih aku tahu kini sudah tak bisa lagi. Kita sudah berbeda. Maka hanya kukenang kau dari sini, memandangi wajahmu yang terlukis di mana-mana. Tahu kan? kemarin saat tidur siang aku memiringkan badan dan memandangi botol air mineral di meja kamarku, ternyata kulihat wajahmu di sana. Tersenyum dan mengedipkan mata. Bukan menggoda, sebab memang itu gayamu.
Aku ikut tersenyum dan membalikkan badan ke arah tembok. Kosong, ternyata di sana juga kulihat wajahmu. Ah, aku aku tidak bisa marah, aku hanya ikut tersenyum. Senang rasanya ada yang menyapa di tengah kesendirian. Ditemani bayanganmu yang sungguh tak bisa lagi kugenggam, karena kau tinggal garis luar yang berbentuk samar. Tapi aku tidak mengira kau betul-betul hilang. Buktinya kau masih ada, menyapaku meski hanya dengan cara demikian.
Saat ini ingin rasanya kutahu alamatmu, lalu setelah tahu aku ingin mengirimimu ratusan surat, aku akan ceritakan segalanya, jangan takut aku akan kehabisan cerita. Banyak yang bisa kuceritakan, sebab kukira masih ada jarak sampai kita bisa bertemu. Hanya saja sekarang aku tidak tahu alamatmu, menggelikan, padahal kita ada di kota yang sama.
Aku berbalik dan memandangi jendela dari sebuah jarak, rasanya seperti melihat dunia lain dari kesendirian, aku ingin berbagi cerita tapi entah pada siapa. Berbagi cerita tentang tangisku yang tersisa ketika bangun tidur, akhirnya aku bisa tidur dua jam setelah dua hari tidak tidur, dan aku bermimpi yang membuatku menangis. Kukira itu adalah mimpi buruk. Tapi kali ini tak ada perempuan berjilbab darah lagi. Syukurlah, aku agak ngeri bila harus berhadapan dengannya lagi, karena aku tidak tahu harus melakukan apa, tidak tahu apa yang dia inginkan, bahkan tidak terlalu tahu dia datang dari mana dan namanya siapa, aku hanya ingat dia pernah kulihat di satu tempat, tapi aku betul-betul lupa.
Kali ini aku bermimpi tentang sebuah tempat, biar kuceritakan detilnya. Tempat itu seperti sebuah ruangan bertembok putih, sebuah ruangan yang panjang dan menyerupai barak-barak tentara. Tapi di sana tidak ada tempat tidur bertingkat atau apapun kecuali kabut putih, aku dilingkupi kabut putih. Kabut itu bergerak memanjang di sepanjang ruangan, aku menelusurinya dengan mataku, berharap menemukan sesuatu.
Dingin melonjak-lonjak, menghasilkan tusukan di kulit yang entah kenapa terasa nyata dalam mimpi, dan aku merasakan aura kesedihan di dalam ruangan itu, air mataku mulai meleleh. Kenapa ini semua terasa nyata? Padahal aku sedang bermimpi. Seberapa pekat sebuah mimpi hingga tak bisa dimengerti? Jutaan pertanyaan menari-nari, aku tak tahu harus mencari jawaban kepada siapa lagi, Airin tidak ada, aku juga tak percaya pada orang lain untuk menjawab.
Kembali ke mimpiku, ke dinding kabut yang pekat dan seperti berombak, aku melangkah membelah kabut, menuju ke ujung ruangan tanpa bisa kucegah, sudah kubilang tak ada yang bisa mengatur gerakan dalam mimpi. Seiring aku melangkah, kabut pun terbelah, namun kabut itu terlalu tebal hingga tetap saja aku merasa dingin dan tertusuk. Suasana terus begitu hingga kabut menyibak, menunjukkan sebuah lemari, tepatnya sebuah laci yang entah terisi apa, di laci itu tertera angka dari kuningan, sebelas, lalu tanganku perlahan bergerak memegang pintu laci itu, ingin membukanya, namun tidak bisa. Kucoba berkali-kali, masih tetap tidak bisa, sampai aku terbangun dengan keringat dan sisa air mata.
Selesai menulis, Indra berbaring lagi. Lalu diam, sediam yang dia mampu, entah berapa jam, entah sehari, entah semalam. Tapi dia kembali merasa ditarik ke ambang tidur, sebuah wilayah dimana alam nyata dan tak nyata bertemu. Indra seringkali tertarik ke wilayah itu dan tak sadar, sebab di sana waktu berlalu cepat. Indra kadang merasa ada bagian dari memorinya yang berisi kekosongan. Hingga ketika dia menyentuh bagian itu maka waktu berputar dan tak dia sadar kapan, apa, kenapa, bagaimana atau siapa yang bersentuhan dengannya.
Seperti saat ini, dalam alam itu rasanya baru beberapa jenak yang lalu dia menulis tentang mimpi yang menyisakan air mata. Kini tiba-tiba dia sedang menatapi udara malam, kapan siang dan senja datang? Dia tidak sadar. Mungkin aku sudah berhari-hari duduk dalam posisi ini dan tak ada yang menghentikanku. Mungkin orientasiku akan ruang dan waktu sudah pupus dan tak ada yang tahu.
Dia memilih untuk tidak menelepon Airin perihal mimpi yang dia tuliskan, entahlah, dia merasa mimpi itu tidak seburuk yang biasa terjadi, apa yang bisa dinilai dari perjalanan di sebuah lorong berkabut kecuali kesendirian? Maka dia rasa tak perlu menceritakan itu pada siapapun, dia merasa tak perlu mengganggu Airin dengan setiap mimpi, bukankah yang dia perlukan hanya mimpiku yang buruk saja? Sedangkan mimpiku yang tadi malam tak terlalu buruk.
Dalam alam itu udara begitu dingin hingga dia menarik selimut lebih cepat. terasa di luar ada sisa hujan yang masih membiaskan lembab, mungkin karena itu udara jadi dingin, tapi tak pernah sedingin saat ini, kenapa? Apa aku akan mati? Dia memejamkan mata, dan tak berapa lama merasakan kehadirannya.
Indra membuka mata, dan sosok itu tampil seperti biasa, kembali samar dan jelas setelah beberapa saat. Dia duduk di kaki tempat tidur, tersenyum, Indra memandangnya memandangnya, wajah sosok itu terlihat letih, tapi dia begitu mirip diriku. “Hai...” ucapnya, suara itu seperti datang dari masa lalu, menggaung, dan dia mengucapkannya dengan bibir yang tak bergerak.