Indra memandang langit, matahari bersinar cerah pada hari pemakaman istri temannya. Prosesi pemakaman itu berlangsung sederhana tanpa khutbah panjang-panjang. Indra bersyukur, dia tidak terlalu suka ceramah yang panjang, dan percaya tidak percaya inilah prosesi pemakaman pertama yang dia ikuti. Betapa selama ini dia tidak pernah peduli pada sebuah kematian. Apakah itu salah? Bukankah yang diperlukan adalah mengingat kematian dan menyusun persiapan, dan bukannya peduli padanya lalu memahami ritualnya? Ah, entahlah, apakah semuanya memang harus dipikirkan begitu?
Indra memandang ke depan. Dari titik berdirinya dia bisa melihat orang-orang yang mengelilingi lubang makam, termasuk temannya yang menampilkan wajah tenang. Mungkin air matanya memang sudah habis? Indra kembali memandang langit sementara jenazah diturunkan. Temannya yang meminta dia hadir di sini “Karena aku perlu teman dan di sana tak ada lagi yang bisa dipercaya,” begitu ujarnya ketika menyampaikan undangan.
Pemakaman itu dilakukan di desa tempat tinggal temannya ini, dan anehnya Indra merasa pernah melihat desa ini, seperti déjà vu yang misterius dan menuntut dilacak kembali. Tapi perasaan itu segera ditepisnya, dia meyakinkan dirinya bahwa dia belum pernah pergi ke sana.
Kini tanah mulai diturunkan, belasan mulut mengucap doa lirih, sebagian mulai menaburkan bunga. Memang sudah waktunya jenazah perempuan ini dimakamkan, meski polisi mengatakan—temannya yang mengatakan—jangan dikubur dengan kedalaman normal sebab siapa tahu akan diperlukan otopsi ulang.
Apapun, tetap rasanya lebih baik jenazah itu dimakamkan daripada diletakkan di lemari pendingin rumah sakit.
Entah kenapa, tiba-tiba Indra sangat ingin melihat wajah istri temannya ini. Sekarang sudah tak mungkin sebab kain kafan sudah melapisinya. Perasaan ingin itu begitu kuat, seolah tidak ada hal lain yang lebih penting di dunia ini kecuali melihat wajah istri temannya. Indra juga mendadak gelisah, perasaan gelisah yang sangat dalam, seolah-olah ada sesuatu yang buruk sudah terjadi, atau akan terjadi? Entahlah! Tapi perasaan itu begitu menusuknya hingga membuatnya menepi ke sebuah sudut, dekat gerumbulan nisan yang seperti nisan keluarga. Dia menghubungi Airin, dia merasa harus bicara tentang sesuatu. Dua tiga deringan kemudian, telepon diangkat
“Air, aku mimpi buruk…”
“…”
“Ya, perempuan itu lagi.”
“…”
“Tiga kali!”
“…”
“Apa ya… sekarang dia menunjuk satu tempat dengan jelas. Rumah Sakit Umum Daerah… ya pokoknya begitu…”
“…”
Lalu Indra menceritakan setiap detil mimpinya yang dengan ajaib muncul di kelebatan memori sejelas telapak tangannya. Lalu dia mengungkapkan sedikit hal yang menggelisahkannya
“Air, aku rasa perempuan itu juga dekat sama kamu.”
“...”
“Mungkin aku malah pernah lihat dia... denganmu...”
Telepon itu tiba-tiba mati, baterainya habis, Indra menghembuskan nafas panjang, sedikit kegelisahan sudah berkurang, dan sepertinya Airin juga sudah menerima fakta (atau cerita?) yang cukup jelas. Dia sekali lagi memandang ke langit, merasakan kontradiksi antara aura ngeri dan sedih di pemakaman ini dengan langit yang begitu cerah dan seperti sedang tertawa.
Lalu waktu seakan terhenti baginya.
*****
Satu atau dua jam kemudian, Indra mendapati dirinya sudah ada di dalam mobil, dia menoleh, temannya sedang menyetir. Indra merutuki dirinya yang kembali tidak tahu apa yang terjadi bermenit-menit sebelumnya. Indra merebahkan sandaran kursi. Berharap pada suatu titik dia akan jatuh tertidur dan kembali ke menit-menit yang hilang itu. Tapi tidak bisa, jadi dia membuka mata dan memandangi langit. Biru. Awan bertaburan. Temannya masih diam, Indra bertanya, lebih ke arah ingin menyambungkan memorinya, tidak ingin betul-betul dijawab.
“Kita mau kemana?”