Indra terbangun dan mendapati dirinya berbaring di sebuah seprai putih. Pertama-tama dia mengira ini sedang mimpi, tapi setelah beberapa detik dia sadar ini nyata. Rasa sakitnya yang membuat nyata, dia memperhatikan, tangan kirinya dibalut—untung tidak digips—lalu tulang rusuk kirinya juga sakit. Bau alkohol menyengat, tiga orang suster hilir mudik di dalam ruangan yang berisi 2 tempat tidur. Tempat tidur sebelah masih dikelilingi tirai. Siapa yang ada di sana? Indra mencari tanda-tanda keberadaan temannya, tapi sepertinya masih cukup sulit, setiap kali bergerak sedikit rasa sakit kembali menusuk.
Seorang suster rupanya tahu Indra siuman, dia mendekati, Indra mendahului bertanya. “Suster, ini dimana? Saya kenapa?”
“Ini di RSUD, sebentar lagi dokter datang pak…”
Memang tak lama kemudian seorang dokter masuk ruangan. Alih-alih diperiksa seorang dokter senior, ternyata yang datang seorang dokter perempuan, masih muda, mungkin sekitar awal tiga puluh. Dokter itu kelihatan lelah, kalau bicara pendek-pendek dan terlihat efisien memilih kata, tapi dia termasuk ramah.
Dia mengangkat catatannya, memasang kacamata. “Pak Indra, bapak baik-baik saja. Tidak ada luka serius, hanya tangan kiri ada luka, sepertinya hasil sayatan, lalu ada retak kecil di tulang rusuk kiri, lalu di daerah itu juga ada pembuluh darah yang pecah. Sisanya hanya lecet dan memar biasa.” Dokter itu mengangkat wajahnya dari kertas catatan, wajahnya lurus tanpa emosi, seperti sedang menjawab pertanyaan berapa satu tambah satu “Ada yang dirasakan lagi?”
Indra menggeleng “Cuma seluruh badan sakit, itu saja…”
Dia mengangguk, memeriksa balutan, mencatat sesuatu, lalu bersiap pergi, Indra mencegahnya. “Dokter, teman saya mana?”
Suster yang menjawab “Pak Irwan dirawat di ruangan lain…”
“Apa kondisinya parah?”
“Tidak, hanya pak Irwan memang perlu perawatan khusus.”
Perawatan khusus? Indra ingin bertanya, tapi suster itu sudah pergi sambil berkata. “Bapak istirahat dulu, nanti sore akan diperiksa lagi.“ Lalu dalam sekejap dia menghilang di balik pintu.
Indra memejamkan mata, dia ingin istirahat, tapi ternyata sulit juga memejamkan mata di tengah rasa sakit. Ketika itu pintu terbuka, ternyata Airin yang datang, wajahnya kelihatan lelah. Dia duduk di sebelah tempat tidur, mereka bertatapan. Indra heran melihat sorot mata Airin, tidak seperti biasanya.
“Hai, kok kamu tahu aku disini?”
Kening Airin berkerut “Kamu kan yang SMS aku?”