Darah Indra berdesir, dia tahu siapa yang dibicarakan dalam berita itu. Dia pernah begitu akrab dengan suami korban, bahkan sekarang terbaring di rumah sakit yang sama. Aku pernah menyaksikan pembongkaran jenazahmu, suatu yang mengusik ketenangan setelah kau dengan lancar menjawab sebuah pertanyaan dari Tuhan. Indra tidak yakin Airin tahu, tapi dia juga tidak hendak membuka fakta ini sekarang, justru dia bertanya yang lain “Apa ini ada hubungannya?”
Airin mengangguk “Mimpi kamu yang cerita semuanya, dan suka nggak suka, mimpi kamu cocok sama berita ini...”
“Misalnya?”
“Mimpi yang pertama, kamu berjalan di sebuah jalan panjang, melewati sebuah desa yang di kiri kanannya ada kolam ikan dan sawah. Memang nggak jelas nama desanya, tapi siapapun yang pernah ke daerah Bandung Selatan pasti mendapati daerah berciri seperti itu. Aku betul kan?” Indra mengangguk, Airin melanjutkan “Lihat berita itu, AN adalah penduduk Bojong Soang, itu ada di daerah selatan!”
“Terus?”
“Mimpi yang berikutnya, lokasinya di sebuah peternakan. Jelas, AN jadi korban pembunuhan di peternakan babi. Lalu mimpi ketiga, penampakan pintu kamar jenazah RSUD... “Airin mengambil nafas, dia agak terengah, tanda semangatnya sedang di puncak “Aku agak kesulitan sampai aku konfirmasi sama temanku, dokter RSUD itu, pokoknya aku dapat data valid bahwa pernah ada satu jenazah bernama Annisa disana, nah... bisa jadi AN itu inisial dari Annisa. Lalu kalau ditambah dengan mimpi kamu yang terakhir ini, harusnya Annisa ada di laci nomor 11.”
“Sudah dicek?”
“Temanku itu yang cek, dan... benar, dia di laci nomor 11. Sayangnya sudah diambil keluarga, sudah dimakamkan pula...”
“Ada fotonya?” ya, keinginan Indra belum terpenuhi, sebuah pengetahuan tentang bentuk wajah. Mengapa begitu sulit? Dan mengapa perasaan ini kembali menampar-nampar? Apakah aku terlibat? Seberapa dalam?
Airin menggeleng, “Ini juga yang bikin aku datang ke sini, aku mau tanya sesuatu. Semua fakta itu cocok, memang cocok dengan cara yang terlalu misteri, tapi cocok tetap saja cocok kan? Aku sendiri cenderung menganggap AN itu ya Annisa yang di RSUD, dan aku sedikit curiga kalau orang ini juga yang muncul dalam mimpi kamu...”
“Terus?”
“Masih ingat teori aku tentang sistem komunitas perempuan berjilbab?” Indra mengangguk, Airin melanjutkan “aku berangkat dari sana, kamu bilang aku kenal dengan Annisa, jelas dong aku bertanya-tanya, cari berbagai kemungkinan. Annisa mana yang pernah aku dan kamu lihat, mungkin malah pernah ketemuan. Tapi rasanya tidak banyak kemungkinan...”
Suara Airin rasanya makin berat, seperti menyembunyikan beban. Tapi Indra tetap diam mendengarkan. Ayo Air, bicara saja, kadang kebenaran itu menyakitkan. Begitu menyakitkannya hingga banyak orang lupa bernafas ketika dia datang.
“Lalu aku cari satu-persatu nama Annisa yang kukenal, setiap kali menemukan, kusambung kemungkinannya dengan kamu. Tapi selalu buntu. Lalu aku ingat, kadang mimpi tidak harus terjadi antar sosok yang hidup, mimpi juga bisa terjadi berkaitan dengan sosok dalam gambar atau foto. Kalau ini jelas lebih mudah, selama ini aku baru beberapa kali berbagi foto dengan kamu kan? terakhir kali aku menunjukkan foto dengan teman-teman waktu kita masih kuliah tingkat satu.”
Indra mengangguk, dia masih ingat foto itu, lima orang gadis berkerudung berdiri dengan senyum di gerbang sebuah kampus. Indra masih sangat ingat, sebuah jejak dimana aku masih bisa melihat wajahmu, juga lesung pipitmu. Sementara Airin mengambil foto itu dari ranselnya. “Aku mau tanya sesuatu…” dia menunjukkan foto itu. “Di dalam foto ini cuma dua nama yang kamu kenal, iya kan? Aku belum pernah kasih tahu nama teman-teman yang lain kan?” Indra mengangguk, dia memutuskan untuk mengikuti permainan Airin “Oke, jadi selain wajah aku dan Zaki, ada lagi wajah yang kamu kenal?”
Hanya perlu dua detik bagi Indra untuk menunjuk sebuah wajah, dia begitu yakin sebab wajah itulah yang menyambangi dia dari malam ke malam, dengan kelebat darah dan kibaran jilbab memerahnya. Meski Indra tak tahu namanya, tapi sekarang dia tahu, nama perempuan itu sama dengan nama yang ada di batu nisan makam istri temannya. Akhirnya kutemukan wajahmu, kulihat gambarmu, dan tanda tanya itu lenyap sudah.
Dia menunjuk satu wajah “Yang ini, namanya Annisa kan?”
Wajah Airin memberat, air matanya menetes. Indra melirik Hai, pertama kalinya aku melihatmu menangis, seberapa berat pikiranmu Air?