Indra dan Airin. Kini mereka berdua ada di sini. Menghadapi sebuah gundukan tanah merah. Sepi. Indra memandang sekeliling, senyap. Tentu saja, ini di tanah pekuburan, apa yang bisa diharapkan ada di sini kecuali barisan nisan dan pohon kamboja?
Indra memandang berkeliling, ratusan nisan ada di sana. Dia memandang nisan-nisan yang mengkilat, Dia memandang nisan yang sudah berlumut. Apakah beda mereka? Dia memandang nisan yang bercungkup dan bermamer, betapa megahnya. Mungkin si mati saat masih hidup tidak pernah memperoleh penghormatan seperti itu, justru ketika dia sudah jadi jasad mati kuburnya diperbagus. Apa gunanya? Toh siksa kubur tak akan berkurang karena nisanmu dari marmer terbaik.
Lalu Indra memandang tanggal-tanggal. Begitu banyak yang mati, setiap hari. Apakah ada lingkaran di kalender tepat di hari kematiannya, sekedar pengingat seluruh keluarga bahwa mereka pun akan mati seperti dirinya? Apa yang mereka lalukan dalam hidup? Apa yang mereka tinggalkan? Apakah sekarang mereka hanya jadi batu bernama tak berpengunjung?[1]
Sementara Airin masih terpekur, berlutut di dekat nisan. Mulutnya seperti mengucapkan doa, wajahnya seperti mendung. Ketika memandangnya, sekejap Indra merasakan kesenduan. Indra mengedarkan pandangan, berusaha membuang perasaan yang mendadak ikut temaram. Lalu dia melihat seorang perempuan berpayung merah berjalan menyusuri deretan makam dan berhenti lama di sebuah nisan.
Dari sudut mata Indra bisa melihat separuh wajah perempuan itu, sembab. Ada bandana putih mengikat rambutnya yang sepinggang, bajunya warna kuning pudar. Dengan warna-warna cerah seperti itu tetap tak bisa menghapus warna kesedihan di wajahnya. Sesedih apakah dia? Indra berpikir. Makam siapa itu? Keluarga? Sahabat? Kekasih? Mungkin orang yang statusnya berbeda, Tapi apakah rasa kehilangannnya tetap sama? Kini perempuan itu menaburkan bunga di atas kubur, lalu mengelus nisan. Indra berpaling, dia tidak ingin larut. Apalagi sekejap matanya seolah melihat Sulisati ada dalam wajah perempuan itu.
Perlahan Indra ikut berjongkok di samping Airin, tangannya mencoba mengelus nisan seperti perempuan itu lakukan, mendadak dia jadi merasa romantis. Entahlah, Indra merasa seharusnya dia bukan merasa romantis, tapi merasa sedih kehilangan sahabat.
Sahabat? Siapa yang mengatakan bahwa perempuan berjilbab ini sahabatnya? Pikirannya berdebat tentang fakta bahwa perempuan itu menyambangi Indra dalam mimpi, seperti meminta pertolongan. Tapi di lain sisi ada sesuatu yang mengganggu perasaan Indra, seakan-akan dia terlibat begitu dalam dalam kematian ini. Suatu perasaan yang membuat gelisah menampar-nampar.
Airin menoleh, merasa heran. “Dra, kamu kenapa?”
Indra menoleh balik “Aku kenapa?”
“Aku tahu kamu lah...” Airin masih memandang, Indra paham pada arah pembicaraan, dia mengakui memang dia juga merasa aneh.
“Tidak tahu, rasanya aku ikut sedih. Padahal kenal juga tidak.”
Airin tersenyum “Annisa kenal kamu...”
“Bagaimana bisa?”