Airin termenung-menung di kamarnya, dia baru bangun tidur, tenggorokannya terasa pekat, seperti ada ludah yang menyekat. Dia meraba dahinya, tidak panas, hangat normal, tapi kenapa rasanya berat? Rasanya waktu ketemuan sama Indra di makam Nisa kemarin aku nggak terlalu kehujanan, tapi kenapa pagi ini badanku aneh? Dia memaksakan bangun, apa aku sakit? Dia melirik kalender, hari ini dia ada janji dengan Zaki. Aku nggak boleh sakit, soalnya janji—apapun janjinya dan dengan siapapun dibuatnya—itu penting! Dia memandang jam meja, ternyata sudah siang. Kalau lagi nggak shalat pasti badan maunya bangun siang! Tapi kalau bangun siang pasti badanku nggak enak begini. Kacau!
Sepuluh menit kemudian dia sudah selesai mandi, dia memutuskan hari ini akan pakai rok. Kadang rasanya malas pakai jeans terus. Pilihannya: rok hitam, kemeja biru muda, tangan panjang tentu! jilbab yang putih, dan seperti biasa, sweater kuning keramat! Dia menyiapkan ransel, sepatu, dan siap berangkat! Dia mencari-cari kacamatanya, tadi malam ada di atas kasur kan? jangan-jangan pecah lagi ketiduran. Dia mengeluh, kalau pecah lagi berarti kali ketiga dalam bulan ini dia harus harus beli kacamata, itu namanya pemborosan! Ternyata dia menemukan benda itu di di ujung kasur, untung nggak pecah. Dipakainya, berkaca sejenak, lalu bergegas turun. Ternyata rumah sepi, hanya suara bik Amah—pembantunya—di dapur, mungkin lagi masak, mungkin lagi cuci piring. Dia memutuskan untuk terlalu malas menengok ke dapur. Dia berteriak dari ruang tamu.
“Bibiik, Air pergi dulu…”
Satu sosok tergopoh-gopoh keluar dari dapur, sosok yang disayanginya, sosok yang sudah ada di rumah ini sejak Airin lahir, artinya sudah dua puluh enam tahun lebih. Sosok yang sudah seperti anggota keluarga sendiri.
“Neng Air nggak makan dulu? Bibik sudah masak tuh.”
“Sudah telat bik, maaf ya, bukan Air nggak mau. Bapak sama ibu kemana?”
“Lho, memang nggak bilang ya? Ada acara di kantor bapak, berangkatnya juga baru. Tapi tadi bibik dengar ibu ngetuk-ngetuk kamar atas, neng masih tidur…”
Airin mengangguk, bibirnya dipencongkan, merutuki salah satu kebiasaan buruknya setelah kebiasaan meniduri kacamata. Kata orang kalau Airin tidur mirip orang mati, kalau nggak gempa bumi dan kebakaran maka aku nggak akan bangun!
“Ya sudah nggak apa, berangkat dulu bik, Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam, hati-hati yang neng.”
Airin keluar menuju mobil, rupanya mas Parmin—pembantunya yang lain—sudah mencucinya, makasih ya mas, tapi dirimu ada di mana? Airin celingukan, dia mau titip uang, soalnya kemarin dia curi dengar mas Parmin mengobrol dengan bik Amah, katanya sedang perlu uang untuk beli buku sekolah anaknya. Mungkin mas Parmin sedang kuras kolam renang di belakang, Aku sudah hampir terlambat, nanti sore saja!
Dia lalu masuk mobil, menutup pintu, mendadak dia merasa kesepian. Rasanya tidak enak terkungkung di dalam ruangan mobil yang kecil, kenapa ya? Mungkin lebih karena dia memulai hari dengan sendirian, bapak dan ibunya sudah terlanjur pergi. Padahal sering dia berharap dengan harapan yang—mungkin—termasuk sederhana, dia ingin setiap pagi mencium tangan mereka. Sederhana kan?
Lalu mari kita berkenalan dengan Airin lebih jauh lagi. Setiap kali dia merenungkan namanya, pertanyaan inilah yang terlintas di pikiran: apa sih bedanya harapan dan kenyataan? Pertanyaan itu tidak memerlukan jawaban, sebab dia tahu dua hal itu hampir tidak ada bedanya, jarak keduanya hanya setipis kulit bawang. Apalagi dia sering merasa sesuatu yang bernama “harapan” sangat akrab dengannya. Sebab entah sadar atau tidak, dia selalu merasa orang tuanya menitipkan sebentuk harapan dan kenyataan sekaligus di pundaknya. Itulah sebabnya dia diberi nama Airin Rahimi.
Beginilah dia menguraikan pemahamannya: nama depannya, Airin dari kata dasar Air, cairan yang bisa mendidih seratus derajat celcius—itu kenyataan—juga sebuah cairan jernih tidak berwarna, nggak berasa dan tidak berbau yang memenuhi dua per tiga bola dunia. Lalu nama belakang Rahimi, artinya mengasihi. Maka dia—selalu diharapkan—bersifat jernih dan bisa berguna bagi manusia sekaligus menyebarkan kasih sayang. Klise sekali, tapi orang tua mana sih yang nggak klise? Tanya saja semua orang tua di dunia!
Tak terasa dia sudah sampai ke tujuan, sebuah perempatan dekat toko kue, di situ berdiri temannya, perempuan. Afrina Zakiah, nama panggilannya Zaki. Dia berjilbab juga, dan sekarang jadi ilustrator freelance. Beginilah Airin mendeskripsikan Zaki, dia menulis itu di buku hariannya:
Dua hal tentang temanku Zaki…
Pertama, dia selalu kelihatan murung, jadi kalau kamu lihat wajahnya terlalu lama maka di hatimu akan terbit rasa kasihan, masalahnya, dia itu tidak suka dikasihani. Karena sebenarnya dia tidak separah kelihatannya, dia anaknya lucu, bisa juga bercanda, tersenyum, tertawa seperti yang lainnya. Hanya memang mukanya seperti itu, selalu murung. Apalagi kalau kita lihat sorot matanya, dia punya sorot mata yang seolah-olah sedang menyeret-nyeret beban yang tak tertanggung, memang matanya jernih, tapi redup.