Maka ke sanalah mereka berdua pergi, ke sebuah tempat di selatan kota Bandung, tepatnya pada sebuah gundukan tanah merah yang bentuknya sudah berubah, tak lagi terlihat baru karena udara dan air hujan telah mengikisnya. Kini andaikan saja tak ada nisan batu dan lingkup marmer di sekitarnya, entah kemana jejak makam itu harus dicari.
Tak perlu diceritakan, bagaimana raut wajah Zaki ketika melihat gundukan tanah merah itu, tak perlu diceritakan apa yang ada di pikirannya, termasuk berapa bulir air mata yang keluar ketika membaca tulisan pada nisannya. Tapi dia menangis, dan Airin memperhatikan dalam diam, memaksanya merenung, padahal dia termasuk orang yang jarang merenung.
Dan malam itu Zaki memilih untuk tidak pulang, dia menginap di rumah Airin. Airin mengerti, tampaknya Zaki sangat perlu ditemani. Sebenarnya Airin mengakui kalau dia juga syok dengan kematian itu, tapi mungkin karena sudah ada jarak waktu maka dia sudah terbiasa dengan gundukan tanah merah dan batu nisan itu. Apalagi ini yang kedua kali dia mengunjungi makam itu.
Kini Airin memandangi Zaki yang terlungkup di tempat tidur, mereka berbagi kasur. Airin melirik jam, sudah lewat waktu tidur, dia mematikan lampu. Perlahan berbaring, memandangi langit-langit. Rasanya dia agak sulit tidur, mungkin kejadian yang timbul akhir-akhir ini membuatnya susah tidur. Rasanya ada yang sesuatu yang harus dikeluarkan, maka dia memilih bangkit, menyalakan lampu. Zaki masih tidak bereaksi. Airin mengeluarkan diary yang tersimpan di bawah kasur, menuliskan perasaanya:
…sekarang, terbayang gambaran waktu kita masih kuliah, bagaimana sosok Nisa melintas cepat di lorong kampus, menyapaku di ruang keputrian. Tersenyum, jadi sahabat semua orang, hampir tak tergantikan. Dia dan Zaki seperti sosok yang sepakat untuk saling melengkapi dan aku bersyukur bisa dekat dengan mereka. Sulit kutemukan sosok-sosok perempuan seperti mereka di kampus. Soalnya mereka unik, pikiran mereka cerdas, gaya mereka beda, kemampuan mereka tak banyak yang menyamai. Zaki pada ilustrasi, Nisa pada organisasi.
Tapi waktu itu pernah aku sangat kehilangan dia. Sebab saat Nisa memutuskan berhenti kuliah dan menikah, Zaki justru pulang ke Sukabumi, rumahnya. Tidak kusangka sekarang aku malah sangat kehilangan dia, sangat!
Kini tinggal Zaki, temanku, sedang terlungkup sedih dan aku memilih diam. Air mataku kutahan, tapi saat ini aku bukan sedih karena kehilangan Nisa, tapi lebih karena takut kehilangan Zaki, atau—lebih jauh lagi—aku selalu takut kehilangan sahabat, siapapun itu…
Terdengar isakan pendek, milik Zaki, Airin berhenti menulis
“Air, aku nggak pernah berpikir akan ketemu Nisa dengan cara seperti ini.” Suaranya terdengar di sela isakan
Airin masih diam, mendengarkan, mencerna kalimat Zaki. Tapi yang dia dengar malah koor jangkrik. Airin menutup diary, beranjak, mematikan lampu, menyimpan lagi diary itu di tempatnya, berbaring, menarik nafas, panjang, terus bernafas… bernafas. Berpikir, memikirkan kalimat Zaki, dan saat makin dipikirkan, dia makin merasakan hal yang sama, lagipula siapa yang berharap menemukan sahabat dalam bentuk mayat?
“Aku juga.“ dia menjawab seperlunya, lalu diam lagi.
“Aku masih belum sempat minta maaf sama dia.” Lirih Zaki.