Esok paginya, Airin berdiri di pintu, memandangi Zaki yang menunduk, menggambar sesuatu di buku sketsa yang hampir habis. Airin melongok lewat bahu Zaki, memperhatikan gambarnya, gambar raut wajah seorang pemuda yang merenung di pinggir sungai, posisi duduknya lurus ke arahnya tapi wajahnya menoleh agak ke samping. Kalau diperhatikan sosok itu seperti menyerahkan sorot matanya ke sungai yang mengalir, sekarang Zaki sedang menambahkan ornamen di sekitar sungai. Di sana ada gambar batu, air terjun yang letaknya di kejauhan, lalu ada sebuah perahu terpakir di pinggir.
“Kamu gambar siapa?”
“Nggak tahu, kamu kan tahu kalau aku gambar suka ikutin naluri saja.”
“Jadi itu gambar siapa?”
Zaki menoleh “Maksa ya?”
“Lah, kamu sendiri yang bilang kalau ngegambar suka ikutin naluri, nah sekarang naluri kamu lagi gambar siapa?”
Zaki menunduk lagi, menjawab pelan “Nggak tahu.”
Parah! kutembak saja langsung! “Kirain Irwan atau Indra lagi.”
Airin melihat Zaki mengatupkan bibir, gemas. Airin meringis, kadang mulutnya kalau bicara nggak pakai filter. Bisa bahaya, tapi aku percaya dia nggak akan marah, semoga sensitifnya nggak lagi datang. Tapi tidak, Zaki terlalu tenang untuk dibalut kemarahan karena pertanyaan sederhana, dia hanya menjawab sekenanya, sambil terus menggambar “Kenapa harus gambar Indra sih?” tanpa sadar terlihat mata Zaki membulat
“Lho, salah ya?” Airin melihat peluang untuk mengarahkan pembicaraan. Maka dia berusaha mengulur percakapan, supaya nanti kalau ada kesempatan, bisa dia belokkan ke arah yang diinginkan, itu strategi yang cukup ampuh. Agak terkesan jahil memang, tapi strategi itu tidak bisa langsung terimbas pada Zaki. Saat ini mereka berdua seperti sedang berperang dengan strategi kata-kata, antara satu pihak ingin mengorek perasaan dan satu pihak ingin bertahan.
“Mungkin...” jawaban Zaki mengambang, jawaban yang menuntut dikejar, maka Airin mengejar.
“Ah, kamu nggak yakin kan?”
Zaki menunduk lagi, Airin memperhatikan tangan Zaki, kini coretannya terputus-putus, dia sering mengangkat pensilnya. Berarti ada keragu-raguan, dia mulai nggak fokus. Mungkin pilihan kataku memang agak terlalu kasar tadi, kacau nih! kadang aku lupa kalau Zaki itu manusia sensitif. Airin menimbang-nimbang kata berikutnya untuk mencairkan suasana. Tapi saat Airin sedang menimbang-nimbang begitu Zaki sudah mendahului.
“Air... kamu, sering ketemu Indra ya?”