Mereka bertatapan, Airin menemukan ketegaran di sana, Baiklah, aku katakan walau sebenarnya tidak boleh disampaikan pada orang lain, Tapi demi kebaikan Indra juga, dan aku ingin mengetahui perasaan Zaki yang sesungguhnya. Airin menarik nafas panjang, bersiap, lalu bicara “Indra sakit…”
Zaki berkerut kening “Sakit apa?”
“Sakit mental…” suara Airin menggantung, menunggu reaksi, tapi nihil. Hanya Zaki yang tercenung, tapi Airin bisa merasakan kalau Zaki masih peduli, atau minimal mencoba untuk peduli, Airin mengatupkan bibir, gemas, dia tidak tahu berapa rusaknya perasaan Indra beberapa tahun belakangan ini, semestinya reaksi yang dikeluarkan Zaki lebih dari sekedar tetrcenung, Sial! Tanpa sadar Airin berdoa, mungkin sedetik, mungkin lebih, entah kenapa. Ya Allah, tolong maafkan Zaki sebab sesungguhnya dia nggak mengerti apa yang dia lakukan. Lalu dia melanjutkan “Begini Ki, sebenarnya aku belum menarik kesimpulan, tapi apa yang terjadi mengarah pada gangguan kepribadian, kepribadian ganda...” Airin mengerem suaranya lagi, agak ragu, apa memang Zaki perlu informasi itu?
“Sejak kapan?” Zaki menutup buku sketsanya.
“Lima tahun? Enam tahun? Sekitar itulah.”
“Kenapa bisa?”
“Sepengetahuanku, Indra memang sudah lama punya gejala gangguan itu. Itu karena dia mengalami hidup yang boleh dikatakan berat. Gangguan ini muncul karena ada faktornya, selain masa lalu, juga karena pengalaman yang saat ini, dan… menurutku salah satu penyebabnya adalah kehilangan seorang Afrina Zakiah.”
“Aku?”
“Iya, kamu kira siapa lagi?”
“Jadi maksudmu, Indra sakit, aku yang salah?”
“Apa aku bilang begitu? Aku nggak bilang kamu yang salah, aku cuma bilang Indra sakit karena salah satunya kehilangan kamu.”
“Sama saja dong!”
“Nggak, ini seperti kalimat ‘ban itu kempes gara-gara angin keluar’, apa artinya angin yang salah? Nggak kan? Yang salah mungkin pentilnya yang terbuka, atau karena lubang kecil di sana, dan untuk Indra, kamu itu angin, bukan pentil.”