Besoknya, Airin dan Zaki kembali ada dalam satu mobil, dan seperti kepergiannya ke makam Nisa kemarin, Airin tidak berkata apa-apa. Sehingga wajar kalau begitu masuk mobil Zaki langsung bertanya.
“Hari ini mau buat aku nangis lagi?”
Airin menoleh, memandang temannya sekilas sebelum menstater mobil. Dia agak merinding juga melihat tatapan Zaki. Apalagi karena tujuannya kali ini hanya diketahui olehnya, Airin sejenak merasa heran karena Zaki seolah memakai baju yang pantas. Apa dia tahu? Begitu pikirnya sambil sekali lagi melirik, Zaki memakai baju kuning cerah, agak sedikit mengkilat tapi tetap sopan. Jilbabnya coklat muda dengan sulaman benang emas yang minimalis. Siapapun yang mengenal Zaki akan berpikir dia sedang berpakaian agak semarak, sesuatu yang bukan merupakan sifatnya atau cara berpakaiannya yang selalu murung, redup dan tanpa ornamen.
Mobil melaju pelan, Airin menoleh “Kamu… lagi bahagia?”
Zaki yang—sekali lagi, aneh… tidak mengeluarkan buku sketsa—duduk tenang menjawab tanpa menoleh “Kenapa?”
Airin menghembuskan nafas, dia sedang malas ditanya balik. Dia memilih diam, tapi diam yang terlalu lama juga membosankan, akhirnya malah dia dulu yang bicara, pilihan katanya dibuat seteratur mungkin “Ki, hari ini kita mau…”
Di luar dugaan Zaki memotong “Air, aku nggak peduli, terserah kamu mau bawa aku kemana. Aku siap! Terserah kamu mau bawa aku ke tempat yang buat aku menangis lagi, aku siap! Sejak tadi malam kamu SMS aku, ajak aku berangkat pagi-pagi, aku sudah tidak peduli mau diajak kemana…”
Airin menoleh lagi, tumben galak? Pikirnya. Akhir-akhir ini Zaki agak sering naik emosinya, kenapa? Airin memilih diam lagi, mencoba menganalisa apa yang terjadi. Sampai dia teringat sesuatu
“Ki… ngg, kamu sudah telepon… Indra?”
Zaki mengangguk, terdengar nafas lega dari Airin. “Terus?”