Lalu di sinilah mereka berada, di sebuah café yang biasa dijadikan tempat berbincang, café yang juga tempat Airin bertemu dengan Indra. Café berwarna coklat seperti cappucino dengan lantai putih dari marmer yang terkesan dingin. Sekarang belum masuk waktu makan siang hingga hanya mereka berdua yang ada di sana. Mereka berdua duduk berhadapan, seperti tidak kenal, Zaki masih terus mencoret-coret sktsa, Airin membaca, sementara di depan mereka ada dua minuman yang berbeda. Zaki: hot lemon tea, lalu Airin: blue apple sparkle (seperti biasa, dengan es yang banyak). Zaki seolah ingin memanaskan suasana, memaksa hatinya untuk bertanya dengan keseriusan dan tidak lagi menyerah pada jalan-jalan yang disebut alur nasib sementara Airin seolah ingin mendinginkan otaknya, perasaannya, agar bertindak dengan perhitungan matang.
Mereka masih diam. Sampai Zaki menghentikan coretannya. Airin mengangkat matanya dari buku, memandang Zaki, Airin tahu temannya itu resah, itu sifatnya kalau sedang punya pertanyaan. Tapi Airin tahu Zaki tak akan langsung bicara. Harus ditanya.
“Kenapa Ki?”
Zaki mengangkat matanya dari kertas “Kamu aneh…”
Airin tersenyum, menarik nafas panjang, menghembuskannya pelan, seperti mempersiapkan jawaban yang sangat penting. Airin menangkap kelelahan Zaki, lelah dipermainkan, lelah dibawa berputar-putar dalam lorong rahasia yang ujungnya entah dimana. Maka Airin berpikir, kini sudah waktunya bicara
“Maaf ya… tadinya aku mau ajak kamu ketemu Irwan.”
Sorot mata Zaki berubah tajam, seperti mempersalahkan. “Irwan?”
Airin mengangguk “Irwan… di rumah sakit itu.”
“Dia sakit?”
Airin mengangguk “Beberapa hari yang lalu dia kecelakaan.“Airin menyembunyikan fakta bahwa Indra terlibat juga dalam kecelakaan itu, menurutnya itu adalah informasi yang tidak penting. Yang ada di otak Zaki kan sekarang cuma Irwan! “Tapi dia sudah pulang…”
Zaki terdiam, Airin juga tidak bisa menebak pikiran Zaki. Kadang wajah Zaki suka menampilkan raut tak terbaca, sebab murung tak selalu berarti murung. Terutama untuk Zaki. Mungkin Zaki memang mau ketemu Irwan, mungkin dia menyangka sebentar lagi aku mau ajak dia ke rumahnya, tapi memangnya aku tahu rumah Irwan? Irwan pulang kemanapun aku tidak tahu, apalagi dengan kondisi begitu!
Airin masih memandang Zaki, temannya itu menghentikan aktifitas menggambar, memperhatikan gambarnya, tidak mengangkat kepala, tapi bertanya, sebuah pertanyaan dengan nada seperti menghakimi anak yang mencuri uang dari dompet ibunya. “Air… kamu pasti tahu sesuatu kan? Ada yang belum kamu bilang!”
Airin menutup bukunya. “Kamu juga begitu kan?”
“Maksud kamu?” Airin menangkap kilatan emosi di mata Zaki