Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #39

AIRIN: Dua Bulan Kemudian

Dua bulan, atau tepatnya hampir dua bulan Airin tidak bertemu dengan Zaki. Memang Zaki sempat bilang kalau dia pulang ke Sukabumi, ke orangtuanya, tapi Airin tetap saja merasa kalau Zaki ingin menjauh darinya, entah sejenak entah selamanya. Ini seperti waktu dulu, waktu dia kecewa sama Irwan! Memang ceritanya begitu, ketika Irwan menikah dengan Nisa, dengan kecewa Zaki pulang ke sana untuk menenangkan diri. Sekarang pun mestinya dia ingin menenangkan diri, mungkin sekarang dia perlu waktu lebih lama? Airin menghembuskan nafas, sejenak dia merasa begitu kesepian.

Dalam dua bulan ini pun intensitas pertemuan dengan Indra bisa dibilang jarang, mungkin ada dua tiga kali bertemu tapi hanya sebentar, hanya digunakan untuk mengobrol biasa, mengecek perkembangan kesehatan, tukar menukar buku bacaan. Setiap pertemuan tidak pernah lebih dari tiga puluh menit. Membosankan! Parah! Namun kali ini tidak, atau tepatnya Airin berharap tidak, karena kali ini dia ada di sebuah atap gedung. Dari titik dia berdiri, hampir seluruh kota terlihat jelas, meyajikan pemandangan gunung di kejauhan, gunung biru yang separuhnya berkabut abu-abu, menunjukkan struktur kota yang seperti mangkuk, dataran rendah dengan taburan gunung di sekelilingnya. Angin cukup kencang di atas sini, Airin menatap langit, ada gumpalan awan putih berarak ke selatan. Mungkin tidak akan hujan

Ini adalah bangunan tertinggi di kampusnya, dan dia ada di atap ini karena Indra mengajak bertemu di sana, apa alasannya? Entahlah. Airin malas bertanya, lagipula dia tidak telalu rugi, dia baru selesai kuliah di lantai empat, hanya naik satu lantai dan itu tidak memboroskan tenaga.

Airin menatap jam di tangan, sudah terlambat lima belas menit dari perjanjian. Kemana Indra? Mau apa dia? Airin beranjak ke sebuah sudut yang tidak terlalu panas, di sana ada sebuah bangku kayu panjang seperti yang biasa kita temukan di warung-warung tenda pinggir jalan. Letaknya terlindung tower air hingga cukup teduh untuk menunggu. Dia melihat jamnya sekali lagi, Lima belas menit lagi nggak ada, aku pulang!

Untuk membunuh waktu, dia mengeluarkan novel yang dibawanya, buku itu sudah berulang-ulang dia baca tapi selalu ada keinginan untuk membacanya lagi. Tapi baru beberapa halaman terdengar langkah kaki mendekat, Airin mengangkat wajah dan melihat Indra menghampiri.

“Maaf…” Indra tergesa

“Kamu tahu berapa menit waktu aku terbuang kalau tiap janjian kamu terlambat lima belas menit kaya sekarang?”

Indra duduk di samping Airin “Lima belas menit kan?”

“Anggap kita janjian ketemu selama aku hidup itu seratus kali, coba kali seratus? Jadi berapa?”

Indra menggeleng, tersenyum. “Nggak tahu, matematikaku jeblok, aku malas menghitung, dan… yang penting aku datang kan?”

Mereka duduk berdampingan, menatap kota di kejauhan, menatap jembatan layang yang terlihat menyembul dari balik kabut kota, sudah lama mereka berdua sepakat bahwa itu bukan kabut tapi polusi. Langit biru yang menipu, awan putih yang turun dengan mendustai penduduknya.

Lama mereka terdiam, Airin menoleh “Kok diam, ada apa sih?”

Indra menoleh. “ Kamu masih marah?”

“Siapa yang marah?”

Indra terdiam, dia seperti sedang menikmati pemandangan. Airin menoleh “Ada apa ngajak ketemu? Ngajak bengong bersama sambil lihat kota dari atas?”

“Ada perlu…”

“Apa?”

Indra masih memandang sebuah titik di kejauhan “Air, apa kamu pernah berpikir… kamu mendalami bidang psikologi, berarti kamu harus siap ketemu orang-orang yang punya masalah kejiwaan?”

“Maksudnya apa? Memang salah satu tugas psikolog itu ya… itu kan? tapi itu kan cuma sebagian kecil Dra, masih banyak fungsi ilmu Psikologi di luar itu.”

“Ya, iya… maksudku, pernah tidak kamu berpikir… gimana ya? Maksud aku… kamu merasa aneh, atau apalah…”

Lihat selengkapnya