Mereka berdua lalu turun ke lantai dasar. Airin memilih lewat lift, Indra lewat tangga. Sekalian olahraga katanya. Orang aneh! Tapi memang lebih baik begitu karena banyak yang harus diurus Airin. Pergi ke tempat parkir, menyalakan mobil, bayar parkir, dan tepat ketika Airin keluar dari lorong parkir Indra pun baru sampai. Dia masuk mobil, membuka buku yang dibawa.
“Baca apa Dra?”
“The Catcher in the Rye.”
“Bagus?”
“Sangat… untuk yang satu ini aku harus bilang terima kasih ke Sulisati. Sepertinya buku ini dia yang beli, soalnya ya itulah… aku tidak pernah ingat beli buku ini, kamu tahu kan aku tidak suka karya-karya terjemahan.”
Airin mengerutkan kening, makin lama dia merasa makin dekat sama Sulisati! Lama-lama dia bakal anggap Sulisati nyata, itu lebih parah! Untuk mengalihkan pembicaraan Airin memutuskan membicaraan buku itu saja, tidak masalah Sulisati “Berapa kali kamu baca buku itu?”
Indra menutup buku itu, memandang sampulnya “Sepuluh kali? Entahlah, aku tidak pernah menghitung, pokoknya sering!”
“Wow, berarti bagus dong?”
“Penerjemahnya yang bagus…”
“Iya iya, pokoknya bagus… ceritanya tentang apa?”
“Tentang anak muda, namanya Holden… apalah! Aku lupa. Inti ceritanya sih bagaimana dia memandang sinis semua yang terjadi di sekitarnya, bagaimana dia geram sama lingkungannya, sekolahnya, teman-temannya, terus bagaimana dia mengekspresikan kemarahan dia itu ke orang-orang sekitarnya.”
Airin merenung sedikit, dia merasa Indra sedang bercermin lewat buku itu. Tapi itu baru teori, jadi dia bertanya “Kenapa kamu suka tokoh atau cerita begitu?”
“Karena jujur Air, ceritanya sangat jujur, bahasa yang dipakainya juga. Aku tidak bisa jelaskan, kamu baca saja sendiri, nanti juga paham. Mau pinjam?”
Airin mengangguk “Dra, aku pernah nonton Before Sunset, di sana dialog-dialognya sangat berisi, kedua tokohnya ngobrol tentang apa saja sepanjang film. Temanya sederhana, tapi penggarapannya bagus, ceritanya juga meluas karena yang namanya orang ngobrol tidak bisa diprediksi lanturannya. Mungkin itu maksud kamu? Ceritanya si Holden ini mirip-mirip begitu?”
“Ya, bisa jadi, aku juga sudah nonton film itu. Bagus, dan memang cerita di sini mirip begitu, si Holden ini melantur-lantur kesana kemari, membicarakan semua hal, pokoknya apapun yang dia lakukan atau temui sepanjang jalan bisa jadi cerita. Makanya aku suka, kelihatannya dia bebas dalam hidup!”
“Kamu, suka yang bebas-bebas begitu ya?”
“Yah, karena hidup memang harusnya begitu…”
Hening lagi. Indra kembali membaca. Tapi tak lama dia bicara “Tadi kamu lagi baca novel juga ya? Apa itu?”
Airin menunjuk ke bangku belakang “Tuh di tas, ambil sendiri…” Indra meraih ke bangku belakang, “…oh iya Dra, di buku yang itu juga aku temukan tokohnya penuh kemarahan sama lingkungan sekitar, namanya Leo, mungkin dari aspek itu sih dia mirip Holden tadi cuma…”
“dan Hujan pun Berhenti…” Indra bergumam membaca judulnya, “teenlit?” Indra membolak-balik buku bersampul hitam itu.
“Iya, memangnya kenapa kalau teenlit?”
Indra menyeringai. “Cocok sama kamu Air…”
“Tapi nggak cocok sama kamu… begitu kan?”
Indra mengangkat bahu “Aku tidak suka teenlit…” dia lalu membuka-buka buku itu, bergumam “Di sini terlalu banyak huruf kapital… sakit mata nih!”
“Ya itu kan untuk nunjukkan kemarahan, bentakan, dan lain-lain. Kebetulan si Leo ini orangnya liar, penuh kemarahan, benci sama diri sendiri…”
“Iya tapi kan nggak perlu ditulis verbal ‘SIALAN! LO PEGANG NYOKAP GUE, GUE CINCANG LO SAAT ITU JUGA! GUE BUNUH LO!’ dengan huruf kapital, tulis pakai huruf biasa saja, kan nggak mungkin orang mengucapkan itu pas lagi kondisinya baik-baik saja…”
“… nggak suka sama kondisi lingkungan, suka menyalahkan masa lalu, mirip sama seseorang yang aku kenal…”
“… pasti orang itu lagi marah kan? itu yang bikin aku tidak suka teenlit…”
“…tapi kalau di novel itu Dra, kemarahan si Leo tersalurkan tapi tetap saja dia liar begitu, untung…”