Ternyata kesempatan untuk memenuhi undangan Irwan datang seminggu kemudian. Tepat di akhir pekan, tepatnya hari Sabtu. Sebenarnya pagi itu hujan, tapi Airin sudah tidak punya waktu lagi, jadwal dia dua hari ke depan cukup padat, diantaranya ada juga jadwal bertemu dengan Indra. Jadwal yang paling tidak boleh aku lupa! Dia mencatat semuanya dalam agenda.
Tak perlulah diceritakan seluruhnya, tapi yang jelas ketika waktu menunjuk pukul tujuh pagi Airin sudah melaju di jalan tol menuju luar kota. Airin tidak berani menduga berapa lama perjalanan, kalau saja dia hanya pergi ke Jakarta maka prediksi waktu akan lebih akurat karena jalan tol membuat jarak terasa singkat.
Tapi dia harus pergi ke Puncak. Berarti dia harus berusaha mencapai Bogor lewat tol lalu mengambil jalan raya biasa setelahnya. Airin mengeluh pendek mengingat hal itu, dia paling malas terjebak kemacetan dan dia curiga jalur Cipanas sampai Bogor pada hari-hari itu justru akan padat.
Sesuai petunjuk di surat Irwan, kemarin Airin sudah menelepon ke tempat itu, seorang perempuan yang mengangkat. Dari suaranya tampak perempuan itu sudah separuh baya dan ramah (tapi bukankah suara bisa menipu?), dan Airin mendapat konfirmasi bahwa Irwan ada dan siap dikunjungi. Tempat apaan sih kok sampai harus janjian segala? Di rumah sakit juga nggak segitunya! Airin berusaha menerka-nerka jenis tempat itu, terutama dari namanya, “Wisma Tetirah” itu saja, tidak ada tambahan lain, Airin agak sulit membayangkannya.
Airin memarkirkan mobilnya di pelataran depan wisma yang tidak terlalu luas, namun bisa untuk memarkirkan beberapa mobil. Wisma yang didatanginya itu terlindung oleh tanaman-tanaman rambat. Airin memandang sekeliling, dirapatkannya jaket karena udara Puncak terasa dingin. Airin sedikit ragu, sebenarnya udaranya tidak terlalu dingin. Tapi entah mengapa ada perasaan dingin yang membuatnya begitu gelisah.
Airin mencoba menenangkan diri. Bagaimana pun dia harus siap untuk menghadapi apapun yang akan terjadi nanti di dalam. Airin melangkahkan kakinya dengan ringan. Begitu memasuki gedung wisma yang cukup besar itu dia melihat seorang wanita paruh baya sedang menulis, asap mengepul dari mulutnya. Sebatang rokok yang sudah setengahnya terapit diantara bibirnya yang menghitam.
“Pagi Bu…”
Wanita paruh baya itu berhenti menulis dan memandang Airin dengan tatapan menyelidik. “Pagi juga, ada yang bisa saya bantu?” suaranya terdengar persis seperti di telepon, diiringi senyum tipis yang meyakinkan keramahannya. Airin menebak wanita ini sudah lama merokok, karena terdengar dari suaranya yang berat.
“Saya Airin yang kemarin nelepon, mau ketemu pak Irwan.”
Airin menaksir usia wanita ini sekitar empat puluh tahun, postur tubuhnya pendek dan tambun. Memakai kemeja yang mengkilap dengan motif bunga-bunga besar dipadankan dengan celana panjang hitam dan sandal jepit. Rambut pendeknya semakin membuat wanita itu terlihat gemuk. Di meja tempat wanita itu menulis tergolek bungkus rokok A-Mild yang terbuka “Ah iya, yang kemarin nelepon ke sini. Dari Bandung kan?”
Airin mengangguk.