Terdengar suara pintu terbuka. Dari balik pintu lalu muncullah sosok itu, Irwan, dipapah pelan-pelan oleh Brastagi. Lalu mereka mengambil kursi di dekat meja, Irwan berhadapan langsung dengan Airin, Brastagi di sisi panjang meja. Airin memandang kosong, tidak mengerti harus bereaksi bagaimana. Sudah bertahun-tahun dia melatih dirinya membaca sorot mata atau bahasa tubuh, tapi kini detik pertama Irwan muncul, yang ada hanya ketaktertebakan. Tidak ada sorot mata yang diyakini Airin sering bicara lebih jujur dari getaran lidah, tidak ada bahasa tubuh kecuali kegagapan mengarungi kegelapan. Gerakan yang terbata-bata.
Airin memandang mata Irwan yang terpejam dengan lingkaran hitam di sekitarnya. Sekali lagi dia tak tahu harus bicara apa. Sampai Brastagi menengahi “Mas Irwan, ini mbak Airin sudah datang…”
Irwan mengangguk, seulas senyum terukir di bibirnya, senyum yang tak pernah Airin kenali “Makasih ya Air, kamu mau datang…”
“Aku kan dapat di surat…”
“Iya... iya, saya yang tulis, maksudnya… Gi yang tulis!”
Airin mengerutkan kening, tidak biasanya Irwan memotong-motong kalimat orang begitu. Irwan yang dia kenal selalu menunggu lawan bicaranya selesai. Tapi aku sudah beberapa tahun nggak ketemu dan nggak ngobrol, mungkin dia memang sudah berubah? Airin melirik Gi, lelaki itu memberikan tanda untuk melanjutkan.
“Bagaimana kondisi kamu sekarang, Wan?” Detik itu juga Airin mengutuki kalimatnya, itu pertanyaan yang parah. Itu sama seperti bertanya “Sakit pak?” pada orang yang baru saja dipotong tangan!
“Beginilah…” Irwan menjawab pendek, lalu diam lagi. Airin bingung melanjutkan. Irwan memang berubah!
“Ehm, di surat itu aku baca… ada yang mau dibicarakan ya? Kira-kira apa ya Wan? Sepertinya penting ya?”
“Kalau misalnya tidak ada yang penting, kamu masih mau datang?”
“Ehm…”
Irwan sudah memotong lagi “Ya… maaf, saya salah paham, ternyata saya sudah banyak ganggu waktu kamu dengan minta kamu datang ke sini kan?”