Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #43

AIRIN: Obrolan Dengan Norma 2

“Karena kami dapat surat keterangan yang mengatakan kalau mata Irwan sudah tidak bisa diubah lagi, artinya mata itu sudah tidak ada pengaruhnya dalam kehidupan dia. Tapi kejiwaanya masih bisa diubah, masih mungkin sembuh, jadi yang kami pentingkan adalah kondisi jiwanya. Apalagi ada dokter yang rutin memeriksa dia, jadi tidak masalah.”

“Jadi kalau begitu, siapa saja orang yang boleh ke sini?”

“Mungkin tepatnya, orang yang tidak punya keluarga lagi.”

“Maksudnya?”

“Maksudnya, di luar sana banyak tipe-tipe manusia, tapi secara sepakat mereka menganggap diri mereka normal artinya menganggap diri mereka tidak punya masalah kejiwaan,” Airin berpikir Ini kok mirip pernyataan Indra? Tapi dia diam, menunggu. Norma terus bicara dengan suaranya yang agak serak, “jadi orang-orang yang merasa dirinya normal itu secara naluri lebih suka berhubungan dengan orang-orang yang mereka anggap normal juga,” Iya, ini mirip omongan Indra, mungkin mereka pernah ngobrol juga… “nah Airin, singkatnya tempat ini adalah rumah bagi mereka yang di luar sana dianggap tidak normal, tapi ini juga bukan rumah sakit jiwa sebab kalau ada orang gila yang datang, artinya orang sudah tidak bisa berkomunikasi lagi, maka langsung akan kita kirim ke RSJ, begitupun kalau ada orang cacat mental, idiot atau autis maka akan kita usahakan kirim ke para ahli. Bagaimana?” Perempuan itu memandang Airin “penjelasannya agak rumit ya?”

Airin tersenyum “Yah, tapi terbayang lah maksud mbak apa, memang benar orang-orang seperti itu bisa dibilang nggak punya keluarga lagi karena kadang jalan pikiran mereka beda dengan orang kebanyakan ya? Artinya mereka akan sulit diterima bahkan oleh keluarganya sendiri, begitu kan maksud mbak?”  

Perempuan itu mengangguk “Yah kira-kira sih begitu…” lalu dia mematikan rokoknya, Airin menarik nafas lega. Bagaimanapun akan lebih baik jika suasana sesegar ini dinikmati tanpa campuran apa-apa, lalu Norma melanjutkan lagi “Tempat ini tidak berorientasi pada keuntungan, makanya biaya masuknya juga tidak terlalu mahal. Tanah yang dipakai ini juga hibah dari seseorang yang punya villa di sana, eh… Airin bisa lihat kan?” perempuan itu memandang satu arah, Airin mengikuti dan melihat atap sebuah villa yang tersembunyi di balik pepohonan. Villa itu sebenarnya terletak di luar pagar wisma, tapi karena bertingkat jadi selalu terlihat. “Mereka orang Jakarta, tapi punya villa disini…” Perempuan itu menyulut lagi sebatang rokok, Airin mengeluh pendek.

“Dulu, pemilik villa itu punya anak laki-laki yang menderita kecenderungan sakit jiwa, dan psikaternya menyarankan untuk mengadakan penyembuhan secara kelompok. Teorinya begini, orang-orang itu harus tinggal di sebuah tempat yang nyaman, lalu mereka saling membantu, melakukan kegiatan secara fisik, lama kelamaan karena tergantung pada kondisi itu maka proses penyembuhan bisa terjadi, tapi itu teorinya.”

“Banyak yang sembuh mbak?”

“Ya, memang tidak selalu berhasil efektif, banyak juga yang tidak kunjung sembuh. Tapi sebaliknya, banyak juga orang yang tidak membaik kalau dirawat di tempat lain ternyata bisa sembuh disini, lalu akhirnya mereka bisa kembali ke rumahnya dalam kondisi normal. Pokoknya, yang paling baik di tempat ini adalah… orang-orang yang tinggal di sini harus mau bekerjasama, tolong menolong. Jadi kehidupan di sinilah yang sebenarnya jadi sarana penyembuh itu. Kehidupan yang teratur, olah raga, tempat sepi, udara segar, juga swasembada pangan, kami punya ladang, peternakan ayam, dan kolam ikan sendiri untuk bahan makanan. Di sini ada perpustakaan, ada fasilitas olahraga, supermarket kecil, tiap seminggu sekali datang tukang pangkas rambut, setiap akhir pekan juga ada pemutaran film. Tapi di sini tidak ada televisi dan radio, juga internet. Untuk informasi luar kami langganan koran, mungkin kami potensial jadi orang-orang yang ketinggalan informasi, tapi kami percaya kalau mau sembuh memang harus seperti itu. Intinya kami meminimalisasi kontak dengan dunia luar, kami berusaha menciptakan dunia sendiri sekaligus mencapai kesembuhan.”

“Apa nggak bisa belanja sendiri ke luar mbak?”

“Itu tidak boleh, kalau mau orang-orang di sini bisa titip belanjaan pada staf yang mau ke luar, atau pakai sistem katalog kalau mau membeli sesuatu, artinya pesan lewat telepon. Kecuali, kecuali ya… ada hal tidak bisa ditunda seperti pergi ke dokter gigi.”

Ketika itu pembicaraan terputus karena Brastagi datang, dia segera mengambil kursi di antara mereka berdua, di tangannya ada segelas besar air putih. “Mas Irwan sepertinya tidur…” ujarnya setelah meneguk air itu, tegukannya besar-besar. “Mbak Airin masih betah di sini? Saya kira tadi langsung pulang.”

Lihat selengkapnya