Airin menyeruput teh hangat di kantin, dia duduk menghadap lapangan rumput. Teh yang diminumnya memang menghangatkan tubuh, tetapi tidak menghangatkan hatinya. Pembicaraannya dengan Irwan semalam membuatnya gelisah. Waktu yang terbatas memaksa Airin untuk segera pulang. dia meninggalkan gelas yang masih berisi setengah. Dia melangkah dengan lambat menuju kamar Irwan, untuk apa lagi? Rasanya sudah tidak ada yang perlu dibicarakan antara dia dengan Irwan. Irwan benar-benar sulit untuk diajak bicara.
Airin berdiri dimulut pintu, memandangi Irwan yang tengah duduk di kursi. Sementara Brastagi baru selesai merapikan tempat tidur Irwan. Kemudian ketiganya berjalan menuju paviliun wisma.
“Wan, aku pulang dulu, mas Gi… jaga teman aku ya, tolong…” Airin sengaja menekankan kata teman, dia berharap Irwan mengerti. Dilihatnya mas Gi mengangguk sambil tersenyum, sementara Irwan masih terdiam, wajahnya kaku. “Wan, aku mau tanya… boleh?”
Irwan tidak bereaksi, tapi Airin tahu Irwan tidak keberatan
“Wan, di surat kamu bilang ada yang mau dibicarakan, tapi selama di sini aku nggak menangkap kamu mau bicara apa…”
“Tadi malam kamu bilang teman-teman masih mencintai saya, kamu yakin Air? Maksudnya itu bukan karangan kamu saja supaya saya senang?”
Airin merapikan ranselnya, entah kenapa benda itu terasa berat “Sekali lagi aku tegaskan Wan, coba buka pintu hati kamu sedikit saja, Wan. Aku jamin kamu bakal merasa dikelilingi sama orang-orang yang peduli sama kamu, di sini ada mas Gi, ada mbak Norma… di sana ada ibumu, ada aku, ada Indra, ada banyak orang yang mungkin nggak aku kenal tapi jelas mereka sayang sama kamu, dan sebenarnya…“
Airin agak ragu mengatakan kalimat terakhir ini, aku butuh keyakinan, aku butuh pegangan setiap mau mengatakan ini, aku butuh tong sampah! Tapi dalam perspektif Airin, masalah Irwan adalah ketiadaan cinta, mirip seperti Indra, mungkin ini satu-satunya cara, sudah lama aku percaya kalau masalah hati hanya bisa diobati dengan hati lagi, lagipula… Airin menepis sebuah bayangan yang berkelebat, bukan waktunya memikirkan itu! “…masih ada orang yang mencintai kamu Wan, maksud aku… sangat mencintai kamu, sangat!”
“Sangat? Siapa?”
Airin memantapkan tekad sekali lagi, memang harus kukatakan, mungkin ini satu-satunya obat, dan dia mengatakannya dengan suara bulat “Zaki… kamu masih ingat kan?”
“Zaki… yang…”
“Kamu pasti ingat…”
Irwan terdiam, cukup lama “Ya… samar-samar Air…”