Zaki:
Mereka menapaki jalanan yang sama, seperti bulan lalu. Dan memang tidak ada perubahan dari jalan berlapis kerikil itu, dari kolam berpancuran di sudut sana, dari udara dingin yang membelai kulit. Ketika sudah kali kedua Airin datang ke Wisma Tetirah, suasana tampak lebih bersahabat. Dengan santai dia bisa memarkir mobil, datang ke meja penerima tamu, mencatatkan nama (seperti biasa, setelah menelepon sehari sebelumnya), menanyakan tentang Norma, bertemu dengannya, berpelukan seperti sahabat lama, bertanya kabar. Biasa. Santai. Sangat santai.
Berbeda dengan Zaki, dia yang selalu diam kini tampak lebih diam. Sepanjang perjalanan sudah sepuluh atau dua belas gambar dia buat tapi tak satupun yang selesai. Zaki memandang Airin, dengan jilbab putihnya (bersulam ornamen di bagian bawah) Airin tampak cerah dan percaya diri. Zaki memandang ke luar, mengenang perjalanannya yang berlaku seperti mimpi. Aku mau bertemu siapa? Itu pertanyaan yang menampar-nampar ketika barisan pohon di jalan bebas hambatan seperti terbang ke belakang. Airin mengemudi dengan cepat, tapi aku sebenarnya ingin sampai lebih lambat, aku perlu lebih banyak waktu untuk bersiap.
Zaki masih memandangi Airin yang tertawa-tawa dengan Norma, detik itu juga Zaki merasa sendirian, dia resah dan sendirian. Jangan tanya perasaannya, sebab tidak ada yang bisa melukiskan perasaan yang datang saat beberapa menit lagi kita akan bertemu orang yang dicintai selama bertahun-tahun tahun. Ada perasaan senang, was-was, cemas, dan sedikit rasa takut.
Mendadak Zaki juga jadi mengkhawatirkan hal-hal kecil yang sepertinya cenderung kekanak-kanakan seperti apa wajahku bersih? Apa di hidung dan pipiku ada jerawat? Apa aku tidak terlihat lusuh? Apa pakaianku serasi? Apa aku cukup cantik? Zaki memandangi jilbab biru tuanya, terasa agak lusuh. Dia mengeluh pendek. Memang dia tahu kondisi mata Irwan, tapi rasanya jahat bila dia datang dengan penampilan seadanya, aku harus tetap tampil sempurna, cantik...
Ketika di perjalanan tadi Zaki juga sempat merenungkan, apa yang harus kukatakan kalau bertemu? Ya, sapaan “apa kabar” rasanya terlalu biasa, apa nanti aku harus menguasai pembicaraan? Atau mendengarkan di bicara? Apa aku tidak akan mengucapkan hal-hal yang memalukan? Apa aku tidak akan mematikan harga diriku di depannya? Setelah ada di Wisma, pertanyaan-pertanyaan tadi menghampiri lagi. Membuat Zaki makin merenung, makin bertanya-tanya, sebenarnya aku ingin menemui siapa? Kawan lama atau kekasih yang hilang?
Apalagi tadi di perjalanan Airin sempat bertanya. “Sebentar lagi kita sampai, kamu mau bilang apa Ki?” Saat itu Zaki tercenung mendengarnya, sebab itu seperti dejavu, sebab Airin juga pernah bertanya seperti itu waktu mereka menyambangi makam Nisa. Kini ketika menemui “bekas” suami Nisa, kenapa dia memilih kosakata yang sama?
Tadi, Zaki hanya menjawab singkat, sambil tetap menggoreskan pensil “Tidak tahu, aku bingung.” Ya, Zaki tidak punya pilihan, dia juga memilih jawaban yang sama juga dan berharap Airin merasakan dejavu yang sama. Setelah jawaban Zaki itu, di mobil terjadi hening yang cukup lama sampai Airin bertanya lagi.