Airin:
Dia melihat Zaki agak terguncang melihat sosok Irwan, tapi memang kalau berdasarkan ingatan masa kuliah, jelas Irwan sudah sangat berbeda, apalagi ditambah kondisinya. Dia tahu Zaki tidak mungkin mengambil alih pembicaraan, maka Airin yang memulai.
“Wan, merasa baikan?”
“Lumayan, kamu datang sama Zaki ya?”
“Iya nih,” Airin menepuk paha Zaki “Ki, ngomong dong!”
“Eh, iya... apa kabar Wan, lama nggak ketemu ya?” Airin tersenyum, bertukar pandang sejenak dengan Brastagi yang duduk di dekat Irwan, bertukar senyum. Mereka berdua bisa membaca kegugupan di wajah Zaki, kegugupan yang kentara sekali. Sekilas itu tampak lucu. Lalu seperti yang disambungkan dengan telepati, Airin dan Brastagi seolah menyerahkan sepuluh menit pertama diisi dialog Zaki dan Irwan.
Kekakuan itu mencair, es itu menjadi air. Mengejutkan melihat Zaki yang tadinya gugup ternyata hanya perlu sepuluh menit untuk menceritakan sesuatu yang lucu ketika mereka di kampus dulu. Airin agak uring-uringan, sudah kubilang jangan ceritakan masa lalu! Nggak ngerti ya?
Airin memperhatikan Irwan, memang Irwan hanya menanggapi seperlunya, tapi ada sekilas keceriaan di sana. Hanya sekilas memang, tapi itu lebih baik. Airin agak lega, tapi sepertinya Airin salah duga, sebab pada menit ke sebelas ada mendung menggayut di wajah Irwan, Airin menegak, waspada, Zaki belum kuat menghadapi ini. Dugaannya benar karena pada menit itu Irwan mengucapkan sebuah kalimat, agak tajam, tapi nadanya begitu datar.
“Zaki, cerita kamu itu masa lalu, saya sudah agak-agak lupa masa lalu. Kalau kamu ke sini hanya untuk cerita masa-masa di kampus rasanya kamu buang-buang waktu...”
Badan Zaki agak tertarik ke belakang, secara naluri dia mengerti sedang diserang, dia coba bertahan. Airin masih diam, dia ingin melihat situasi. “Bukan kok Wan, menjenguk teman itu bukan sesuatu yang buang-buang waktu.”
“Saya tidak perlu dijenguk, Ki, memangnya saya sakit?” nada itu masih datar, dan juga agak tajam. Airin berpikir, apa ini memang gaya bicara Irwan yang baru? Rasanya agak beda dengan sebulan yang lalu. Irwan melanjutkan “lagipula setiap orang yang jenguk saya biasanya belum-belum sudah menunjukkan rasa kasihan, saya bukan orang yang perlu dikasihani!”
“Tidak begitu, Wan. aku khawatir sama kondisi kamu…”
Irwan tidak menoleh ke arah Airin, tapi nada suaranya jelas untuk Airin “Kamu dengar kan apa yang dibilang Zaki? Dia khawatir dengan kondisi saya…”
Airin melotot ke arah Zaki, sebuah pandangan yang bisa diartikan Diam dulu, jangan ngomong, aku ambil alih sekarang!, Airin berusaha melembutkan suaranya, selembut mungkin “Maaf ya Wan kalau kamu tersinggung, maaf banget… tapi tolong jangan marah ke Zaki, niat dia baik kok, maaf ya…”
Irwan masih bicara dengan nada yang sama “Ya, saya hargai kedatangan kalian. Terimakasih juga buat Zaki yang mau datang. Sekarang saya memang seperti ini, emosi tidak terkendali. Jadi tolong kalian juga bisa memahami saya, kalian belum pernah ada di posisi saya, kalian tidak tahu seberapa terhina dan tertekannya saya kalau ada orang yang menganggap saya lemah, sakit, dan perlu dijenguk. Kenapa semua orang tidak bisa menganggap saya baik-baik saja?”
Airin memberi tanda lewat matanya pada Zaki, sebuah tanda yang bisa diartikan sebagai, ini waktunya, Irwan harus keluarkan semua kegelisahannya, jangan dipotong! Tapi sebenarnya tanpa itu pun Airin tahu Zaki tidak akan berani bicara lagi, Zaki agak terguncang. Semenjak tadi dia banyak menunduk. Irwan terus bicara “Sikap semua orang yang terkesan baik itu mengganggu saya, mereka selalu mau tahu apakah saya baik-baik saja, padahal kamu tahu Zaki? Saya tidak pernah baik-baik saja, Ki. Kamu lihat sendiri kan? Saya tidak bisa melihat, saya kehilangan istri dan anak, dan saya kehilangan harapan. Kalau kamu mau tahu, kebahagiaan itu sudah tertutup buat saya…”
Zaki mengangkat wajah, terlalu mendadak, Airin tidak bisa mencegah, hanya merutuk dalam hati, jangan ngomong dulu Zakiiii!...suara Zaki agak serak dan Airin bisa melihat air mata menetes turun. “Kebahagiaan itu bukan dari orang lain Wan, tetapi dari diri kita sendiri. Kalau akang…” suara Zaki tersendat. Akang? Airin mendelik, sejak kapan Irwan dipanggil akang sama Zaki? “…kalau akang ingin kebahagiaan dari luar, saya…”
Gawat, cinta… Untung Airin memotong kalimatnya tepat waktu. “Kamu dengar itu, Wan? Itu menjadi bukti bahwa masih ada orang yang tulus untuk peduli sama kamu.”
Irwan mengangguk pelan “Saya cuma bisa bilang terimakasih… kalian sudah mau berkorban, tapi saya mungkin alergi sama yang namanya kebahagiaan. Soalnya saya sudah banyak merasakan kebahagiaan dan semuanya sudah direnggut… mungkin saya kapok…”