Zaki:
Untuk kedua kalinya dia berada di depan Irwan, di ruangan yang sama. Tapi Zaki bisa menangkap kalau Irwan agak lebih ceria sekarang. Tadi dia dipanggil hanya untuk berpamitan, tapi ketika sudah di ruangan ini Airin membisikkan sesuatu, lima belas menit lagi lagi Indra mau datang, kita tunggu sebentar.
Zaki melotot, Airin membisikkan itu dengan wajah riang yang tidak dibuat-buat, Zaki mengerutkan kening, Ini pasti sudah direncanakan
“Mau apa dia kesini?” Zaki mencubit Airin “Kamu mau jebak aku ya?”
“Nggak! Tanya saja langsung sama dia!” Airin tersenyum, mendadak Zaki membenci senyum itu.
“Oh, Zaki kenal Indra juga?” Irwan bertanya ke arah Zaki.
Zaki langsung gagap. Dia bersandar pasrah dan tampak begitu canggung dengan situasi ini. Lama dia menimbang-nimbang, dia berpikir mungkin ini saatnya untuk meraba kembali perasaan itu. Apalagi entah kenapa, aku punya firasat kalau setelah hari ini aku tidak bisa bertemu dengan salah satu dari mereka.
“Aku SMS Indra dulu, kasih tahu kalau kita ada di sini, biar dia nggak terlalu kaget.” Airin bergumam dari samping, Zaki membiarkan, percuma bereaksi juga, ini semua sudah akan terjadi. Jadi dia terdiam, membiarkan skenario Airin berjalan dengan sendirinya (dia masih percaya kalau Airin menjebaknya! Setelah ini aku harus minta penjelasan!). Sekarang Zaki memang tak bertanya, segera dimatikan perasaannya, kedongkolannya. Lagipula setelah sekian lama tidak bertemu, setelah kemarin hanya bicara di telepon, mungkin sekarang sudah saatnya… Saat untuk apa? Aku juga tidak tahu, aku kira dengan bertemu nanti, perasaanku akan membaik, sebab tidak mudah juga melupakan masa lalu. Dan Indra adalah masa lalu. Masa lalu…
Menit berlalu, lama sekali. Zaki terdiam terlalu lama hingga Airin sadar perasaan temannya itu sangat terganggu, Airin lalu menjelaskan sesuatu tentang kedatangan Indra, Zaki masih diam. Dia berusaha mencerna penjelasan Airin tapi banyak juga yang luput. Zaki memilih untuk tidak bicara, mendadak dia merasa semuanya terlalu misterius. Mendadak dia merasa hari ini tidak akan bisa dilewati dengan mudah!
Sampai satu waktu terdengar ketukan terdengar di pintu, lalu suara salam yang sangat dikenal Zaki. Badannya menegang. Dia hanya bisa tertunduk memainkan ujung jilbab, kebiasaan lama ketika sedang gelisah. Brastagi menyambut, bersalaman. Irwan tersenyum, mereka berdua berpelukan. Airin mencatat dalam hati, Irwan lebih terbuka kalau bertemu laki-laki, apa ini pondasi kekecewaannya ya?
Indra duduk tepat di depan Zaki, Zaki tidak mau kelihatan seperti orang bodoh, maka dia mengangkat wajahnya yang entah kenapa terasa panas, dan kali ini dia benar-benar tergagap. Ternyata bicara di telepon jauh berbeda dengan bertemu langsung, apalagi kini Zaki menemukan lagi rambut itu. Rambut lurus yang entah kenapa terlihat menarik. Indra tersenyum, dari senyumnya aku tahu kalau Airin sudah mengatakan kalau aku ada, dan Indra sepertinya lebih siap daripada aku.
“Apa kabar?” dia bertanya, suaranya masih seperti itu. Zaki masih belum bisa menjawab cepat, dia masih mencerna suara Indra. Ada yang tidak terdefinisikan dari suaranya, suara yang pernah sangat aku suka sejak menit pertama bertemu. Dia tidak bisa menjawab kecuali satu kalimat pendek.
“Baik...” Pandangan mereka sempat bertemu dua detik, Zaki masih ingat mata itu, mata yang kontradiksi, kelam dan tajam, sayu tapi selalu bersinar, dalam wajah itu tatapannya seperti berkata bahwa dia bersyukur bisa melihatku. Zaki menunduk lagi, matanya mulai panas.
“Aku kira kamu bohong Air!” Indra tersenyum, wajah Zaki makin panas, senyum itu, senyum itu...
“Untuk apa juga bohong...”
Kalimat Airin terputus di sana, sebab Irwan mengambil alih pembicaraan. Tapi jelas dia hanya bicara dengan Indra saja. Untuk Airin tidak masalah, tapi untuk Zaki itu justru masalah, dia tidak tahu harus bagaimana. Dia tidak sanggup menatap Airin, dia sedang benci Airin. Dia juga tidak bisa menatap Indra atau Irwan, Sebenarnya Zaki tidak tahu harus menatap siapa, dia merasa benar-benar terperangkap.
Sekarang Irwan dan Indra saling bertukar informasi sambil tertawa-tawa, mereka sudah sangat akrab. Apa mereka teman di masa lalu? Atau ada hal yang tidak kuketahui dari keduanya? Zaki memberanikan diri mengangkat kepala, mencoba menggambarkan kedua lelaki itu dalam ingatan. Yang seorang bertubuh kurus, kulit hitam, dengan gerak tubuh yang lincah, rambut belah kiri, mata kelam dan tajam. Yang satu lagi lebih tinggi, ototnya menggumpal, rambut ikal dan kulit lebih putih. Sepintas mereka berbeda, yang sama adalah matanya—Irwan sudah tak bermata, tapi mata Irwan yang Zaki ingat adalah cerminan dari mata Indra, mata mereka sama—Kelam, tajam, hitam, bersinar, dan… kelihatan menarik… entah kenapa. Keduanya menampilkan kelelakian mereka dengan caranya masing-masing.