Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #51

MEREKA: Diary

Dan beginilah Airin menulis dalam buku hariannya, tepat ketika dia pulang dan merebahkan diri di tempat tidur, dia tidak mau buang waktu, dia tidak ingin kehilangan waktu menuliskan ini semua, dia takut…

 

Waktunya aku menuliskan sesuatu yang jujur, sesuatu yang selama ini kupertanyakan. Tapi memang kejadian hari ini meninggalkan banyak pertanyaan (sekaligus jawabannya, meski masih tidak beraturan)

Sekarang, setelah Irwan masuk tempat rehabilitasi, dan Nisa dimakamkan, tidak ada lagi yang bertanya siapa pembunuh Nisa. Aku nggak tahu apa polisi bergerak, atau malah mempeti es kan kasus ini? Media tidak pernah lagi membahas ini, kematian seorang ibu hamil di kandang babi pun sudah dianggap tidak penting.

Tapi aku kira, ini justru yang terbaik, semakin sedikit Irwan mendengar soal lanjutan kasus ini, semakin mungkin dia sembuh, sebab secara logika, level stressnya pasti menurun. Lebih baik aku serahkan saja kasus ini pada polisi, pada Allah... kalau sudah waktunya pasti akan beres sendiri.

Apa aku terkesan acuh? Mungkin saja... tapi aku tetap peduli, Nisa temanku juga, tapi kukira akan lebih logis kalau aku peduli pada orang yang masih hidup. Irwan, Indra... dan Zaki

Apa masalah Zaki? Yah, aku harus mengaku ini nggak terduga. Salah siapa kalau ternyata Zaki menganggap masalahnya dengan Indra sudah beres dan dia bebas mendekati Irwan lagi? Nggak ada yang salah, Zaki manusia yang punya keinginan dan nafsu, dia punya obsesi dan sekarang  dalam rencana melangkah menuju obsesinya.

Aku nggak bisa melarang. Aku juga nggak bisa mendebatnya tentang, “Apakah dia masih punya hati atau nggak”. Kenapa pertanyaannya itu? soalnya sekarang posisi dia rentan berada dalam tuduhan itu, terutama untuk mereka yang cenderung berpihak sama Indra. Coba, siapa yang nggak kasihan sama Indra?

Tapi anehnya, kalau dilihat dalam perspektif aku, justru perilaku Zaki itu bisa saja dianggap normal. Ini bisa dilihat dari empat hal. Empat hal “berpotensi negatif” yang berkaitan dengannya, sekaligus bantahannya

Masalah pertama: dia perempuan, dan perempuan biasanya diidentikkan hidup untuk menunggu laki-laki yang datang, apalagi Zaki tipe perempuan pendiam dan pemalu yang rasanya lebih pantas bersikap seperti itu. Jadi kalau sekarang dia “mengejar” Irwan, maka perempuan apa namanya?

Bantahan pernyataan pertama: Aku cukup kenal dia, di balik sikap pendiam dan pemalunya itu sebenarnya dia termasuk orang yang nggak sabaran—bukan agresif, dia paling benci dibilang begitu—dan sekarang sifat nggak sabarannya itu bertemu dengan kenyataan bahwa laki-laki yang dicintainya secara sunyi—sejak masa kuliah—sedang ada di depannya, sendirian, dan punya peluang untuk dimiliki (Berapa persentase kemungkinannya dia memiliki Irwan aku nggak tahu, biarlah Allah yang menentukan).

Jadi kukira wajar kalau sekarang dia bergerak mendekati “sasaran”, tentu dengan gaya pendiamnya yang khas, (bukan dengan gaya agresif seperti menempel laki-laki itu kemana-mana, menggelayut manja di tangannya setiap saat sambil menebarkan senyum manis, menelepon setiap hari, mengirimi hadiah, atau seribu cara yang menunjukkan mental pemburu.) Bukan, itu bukan gaya Zaki. Aku lihat dia mendekati Irwan lewat caranya sendiri, cara yang tetap tenang dan anggun. Sebenarnya aku cukup kagum melihat dia bisa mempertahankan keanggunannya di tengah “desakan hebat” untuk memiliki Irwan. Kalau ada yang menertawakan aku atas kesimpulan ini silahkan saja, berarti orang seperti itu nggak tahu bagaimana lelahnya menjaga cinta selama enam tahun. Atau aku curiga orang itu nggak pernah jatuh cinta.

Jadi, kesimpulannya: perilaku Zaki termasuk normal. Apa salahnya perempuan mengejar cinta? Yang penting kan keanggunan tetap harus dijaga!

Masalah kedua: lebih “parah” dari sekedar perempuan. Dia perempuan berjilbab (seperti aku juga), perempuan “jenis” ini sering dicap oleh masyarakat untuk bisa lebih menjaga perilakunya terutama di hadapan lawan jenis, bukan mendekatinya dengan seribu macam alasan.

Lihat selengkapnya