Mozaic

Hendra Purnama
Chapter #52

MEREKA: Sebuah Email yang Datang Tengah Malam

Akhirnya pada tengah malam lebih sedikit, Airin menerima sebuah email dari Indra, dengan perasaan yang temaram dia membacanya.

 

...malam terasa sangat panjang, dan pada sebuah titik aku merasa malam tidak akan pernah berakhir. Tapi bukankah pagi akan selalu datang tanpa diminta? Aku melewatkannya dengan berbaring nyaman—tepatnya, berusaha nyaman—menunggu pagi, aku masih insomnia dan sekarang berusaha menikmati.

Ketika sedang termenung begini pikiranku selalu membayangkan yang aneh-aneh, aku jadi ingat cerita suster Margaret, pembimbingku waktu aku masih tinggal di panti asuhan, ketika dia sedang mengajar sekolah Minggu di sebuah aula. Setelah bercerita tentang pengorbanan Yesus, dia juga bercerita tentang sebuah kepompong yang di dalamnya ada ulat sutra. Sekian hari ulat itu membungkus diri, dia berpuasa, dia diam, bukan pasrah tapi sedang berusaha. Namun ketika keluar dia masih jadi ulat.

Aku membayangkan perasaan ulat itu ketika dia keluar, dia pasti iri pada ratusan kupu-kupu yang terbang di sekitarnya, beberapa dari mereka mungkin dulu jadi temannya, beberapa mungkin saudaranya yang sekarang tidak bisa dikenali lagi. Dalam cerita itu, sang ulat berusaha masuk lagi ke dalam kepompong. Mengulang masa. Sampai akhirnya mati di dalam sana.

Aku sering berpikir bahwa ulat itu mengulang dirinya masuk ke dalam kepompong bukan karena ingin benar-benar jadi kupu-kupu, tapi ulat itu merasa iri pada kupu-kupu dan muak melihat mereka, maka dia menyembunyikan diri supaya tidak melihat mereka terbang, dia iri sekaligus benci.

Kini aku merasa seperti ulat itu. Sebab aku masih di titik yang sama, tidak bergerak—maksudku bergerak tapi selalu kembali ke tempat—Maka tidak percuma namaku Indra Pratama, karena aku akan selalu jadi yang pertama. Sendirian? Mungkin saja. Lahir tanpa tahu orang tua sendiri, aku sudah biasa tidak didampingi. Aku seperti dikhianati mereka yang harusnya mendampingi.

Sebenarnya tidak persis begitu, sebab aku pernah juga merasa didampingi. Beberapa tahun yang lalu. Masih kuingat saat dari balik kaca jendela kulihat dia (kamu tahu “dia” itu siapa), dia sedang melintas. Menuruni jalan. Menunduk. Menekuri langkah. Dia begitu cantik. Begitu sempurna—sejak kapan aku berpikir tidak ada sesuatu yang sempurna kecuali Tuhan? Aku tidak tahu kapan, tapi yang pasti bukan saat itu—ketika melihatnya aku berpikir, janganlah lagi ada mulut yang bicara tentang kesempurnaan, sebab dia adalah kesempurnaan itu sendiri.

Maksudku, Tuhan adalah kesempurnaan, Nabi adalah kitab suci yang berjalan, tapi keduanya tidak bersentuhan langsung denganku dan mereka semua seperti mimpi yang tak terjangkau oleh orang sepertiku.

Lihat selengkapnya