Indra:
Malam lalu benar-benar turun di kota yang sekilas tanpa senyuman. Malam itu turun diantara riuh jalanan, lampu-lampu gemerlap atau temaram, di antara para penumpang bis kota yang berpandangan tanpa senyuman. Dengan wajah-wajah berkeringat, lelah, bau dan wangi bertebaran di antara mereka. Orang-orang bertemu dan berpisah tanpa perjanjian. Indra memandangi itu semua ketika duduk di sebuah kursi, di sekitarnya dinding berwarna capuccino, di depannya secangkir kopi susu dan sepiring kecil brownies, dia berusaha menikmati keadaan meski tidak semudah yang dibayangkan.
Dia memandangi orang di depannya, mencoba menyusun kalimat yang mendadak muncul. Hanya terpisah meja kecil ini duduk temanmu, jilbab putih, kacamata minus, jaket merah, rok hitam, sepatu kets. Seragamnya tidak berubah, aku suka ketika dia mengenakan setelan seperti ini. Dia melihat Airin berada dalam kondisi lebih santai. Sebaliknya, Indra merasa tegang, tepat ketika dia bicara tentangmu, aku membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi, dan entah kenapa aku merasa firasatku akan benar kali ini
Airin memulai pembicaraan dengan kalimat “Kamu... sudah bisa melupakan bayanganmu tentang Zaki?”
Indra memandang Airin dengan perasaan yang kacau, tidak tahukah dia kalau andai kata saja aku bisa lupa, maka aku tidak perlu jadi orang sakit jiwa seperti yang dia katakan selama ini?
Pertanyaan itu aneh, maka Indra malah balik bertanya “Kamu pernah jatuh cinta?” mereka bertatapan.
“Pernah...” Airin menjawab, tapi jawabannya mengambang.
Indra tidak melanjutkan, sebab jawaban Airin tadi merangkum semuanya. Tidak usah kukatakan kalau seseorang pernah jatuh cinta dia juga pasti mengerti perasaan apa yang terbawa seiring cinta itu. Salah satunya adalah kesetiaan dan kesabaran.
“...sampai sekarang.” Airin melanjutkan nada yang mengambang tadi, Indra menatapnya, merasa heran karena wajah temannya itu entah kenapa jadi kemerahan.
“Sudah lama?”
“Lama sekali...”
“Orang itu tahu?”
Airin menggeleng, lalu dia membuang muka, memandang ke luar. Dari sudut itu cahaya lampu jatuh ke matanya, menghasilkan efek berkaca-kaca. Indra membatin entah kenapa dia seperti sedih, padahal dia selalu kelihatan lincah
“Kenapa kamu bisa kuat?” Indra menggeser duduknya.
“Karena aku masih punya harapan Dra.”
“Itu jawabannya, jadi kenapa kamu sekarang minta aku melupakan Zaki?”
“Karena buat kamu sudah nggak ada harapan lagi.”