Indra memandang punggung Airin yang menghilang di belokan jalan, jilbabnya berkibar-kibar di tengah hujan. Lalu dia memandang cafe tempat mereka tadi baru saja bicara, warnanya yang seperti cappucino memberi kesan manis. Saat itulah mendadak dia disergap oleh kenangan tentangnya, tentang Airin? Kenapa dia?. Untuk pertama kalinya bayangan Zaki tidak melintas, Indra malah bisa dengan mudah membayangkan beberapa kenangan dengan Airin. Sekali lagi, kenapa?
Dia memejamkan mata di bawah lampu jalanan, menulis sesuatu di dalam memorinya, sebuah tulisan yang panjang tentang kenangan bersama Airin, dan beginilah benaknya menuliskan itu:
Seberapa pantas kenangan itu mengganggu dan mengambil sejumput ruang di memori masa lalu? Apakah yang namanya kenangan selalu mengganggu? Terbuat dari apakah sebuah kenangan? Aku tidak pernah bisa mengerti mengapa yang namanya kenangan selalu kembali dan kembali lagi.
Seperti: saat-saat SMA, ketika kita duduk berdua di lapangan basket, memperhatikan mereka yang bermain, kita berbagi minuman, kita berbagi bahan-bahan pembicaraan khas anak SMA.
Seperti: ketika kita pertama bertemu di sebuah perempatan setelah sekian lama saling jauh, ketika itu dia memaksaku pergi ke sebuah cafe yang berdinding warna cappucino, kita berbagi cerita dan baru aku sadar betapa dia menatapku dengan pandangan yang sulit diartikan.
Seperti: Malam yang kita lewati di tempat yang sama, aku membagi dukaku dan dia mencatatnya pada sebuah buku bersampul hitam dari kulit imitasi, untuk pertama kalinya aku memperkenalkan dia dengan Sulisati, bagian dari diriku yang juga sebentuk cermin tak kasat mata, sesuatu yang hanya kubicarakan pada mereka yang kupercaya, sejauh ini baru dia dan Tuhan yang tahu.
Jadi terbuat dari apakah sebuah kenangan yang menampar-nampar? Aku mengenang Airin seperti satu sosok yang selalu ada ketika dibutuhkan, tapi kadang ketika tidak sedang dibutuhkan pun dia selalu ada.
Apa itu mengesalkan? Entahlah, Kalau diingat-ingat, Indra merasa dia yang lebih sering meninggalkan Airin daripada sebaliknya. Lalu benaknya menulis sisa-sisa kata lagi, seperti ini:
Aku mengenangnya dengan mengingat cara dia berjalan menyusuri trotoar, betapa lucu dia berjalan, betapa kecil dan lincah tubuhnya, betapa dia serupa sahabat yang selalu dirindukan dan tak bisa dilupakan, betapa dia serupa saudara yang selalu membuka kupingnya lebar-lebar sekaligus tahu kapan harus berkata-kata dan kapan harus diam, betapa dia serupa dokter yang bisa membaca tanda-tanda penyakit ketika tunasnya pun belum tumbuh, lalu dia bisa menyemangati hingga tunas itu menelusup lagi ke dalam tanah dan tertidur panjang.