Lalu kesibukan membuat semuanya terlupakan untuk sementara, selama tiga minggu Airin melakukan tugas penelitian ke luar kota. Mengunjungi beberapa titik di kota Ciamis. Itu bagus karena membuatnya berjarak dengan berbagai pertanyaan, dan membuatnya bisa berpikir lebih jernih. Tapi tetap saja, dia merasa Indra tidak mau lari dari pikirannya, obrolan terakhir mereka di café masih membuatnya bertanya-tanya, apa aku melakukan hal yang benar?
Airin kadang tidak percaya dengan pertanyaannya sendiri. Ya ampun, apa aku betul-betul jatuh cinta sama Indra? Dia merutuk sendirian, apa sih yang aku pikirkan? Kenapa perasaan ini suka menyusup-nyusup tak terduga?
Dari sisi yang jauh ini dia juga melihat bahwa rupanya Zaki tidak main-main dengan kalimatnya ketika pulang dari wisma. Faktanya, dalam tiga minggu terakhir ini saja dia mendengar kabar bahwa Zaki sudah empat kali pergi ke wisma. Empat kali! Luar biasa! Dia sudah jadi pengunjung tetap yang punya jadwal sendiri. Airin merasa, mungkin ada baiknya kalau Zaki dibiarkan sendiri, dia juga perlu mengejar cintanya sendirian, dengan usaha sendiri…
Sebenarnya kalau mau jujur, sebenarnya Airin tidak pernah benar-benar paham konsep cinta itu seperti apa. Buat Airin, kejadian dimana Indra terobsesi pada Zaki, atau Zaki terobsesi pada Irwan masih misteri, dia cuma bisa berharap tidak akan terjebak di situasi yang sama. Aku harus tetap objektif dalam memandang kasus Indra, kesalahan fatal jika aku jatuh cinta pada Indra!
Sampai hari ini, hari terakhir dan besok adalah waktu pulang. Airin menghibur dirinya dengan bermain ke pantai, sendirian, benar-benar sendirian. Sesekali dia ingin merasakan sebuah ketenangan dengan memandangi ombak atau merasakan gesekan pasir di pori-pori kulit. Di sana dia hanya merenung, membaca buku, makan dari pedagang yang lewat, harga sedikit mahal tak apa. Lalu di pantai itu juga, ketika hari sudah beranjak sore, ketika dia sudah mengemas ranselnya bersiap pulang, seseorang mendekat, anak perempuan berlari-lari mengejar balonnya yang tertiup angin. Balon itu terbang begitu tinggi buat anak itu, tapi seperti yang mengejek juga, sesekali balon itu naik turun di udara. Airin menangkap balon yang lewat di depannya, menyerahkan pada anak perempuan itu
“Makasih kak…”
“Sama-sama…” Airin tersenyum.
“Kakak cantik, senyumnya…” Anak itu memandang Airin lekat sambil menggenggam benang balon erat-erat. Tumben ada yang puji aku! Airin menaksir-naksir sosok di depannya, paling kelas 2 SD… “kalau aku ketawa, kata orang aneh, soalnya gigiku keropos.“ Anak itu menunjukkan deretan giginya yang tidak rapi. Melihat kepolosan anak itu mau tidak mau Airin tersenyum lagi.
“Terus senyum ya kak… biarpun kakak lagi sedih...”
Airin mengerutkan kening “Nggak kok, kakak nggak sedih…”
Anak itu malah duduk di pasir, dekat kaki Airin “Kak, aku pernah punya kucing, tapi dia hilang nggak tahu kemana. Aku sedih, tapi kata mama aku harus tetap senyum biarpun lagi sedih.”
“Iya, mama kamu benar…” Airin ikut duduk di samping anak itu “sekarang mama kamu mana dik?”
Anak itu menunjuk ke satu arah, Airin melihat satu keluarga sedang beres-beres juga, bersiap pulang dan ada satu ibu melambai memanggil tanpa suara ke arah mereka. Anak itu berdiri, menoleh.
“Kakak lagi sedih ya, kehilangan teman itu memang bikin sedih ya kak?”