Indra menutup laptopnya, sepotong email dari Airin merangkum semuanya. Lalu larik-larik kalimat meluncur di benak Indra, menggores dalam seperti goresan pisau pada mentega. Begini:
Irwan sudah pergi abadi, dan kamu menghilang lagi. Tak kutemukan kamu di rumahmu, tak pulang kamu ke ayah ibumu, tapi menyepi dengan isak tangis sendiri, seperti tak mencari aku, padahal dengan setia aku sudah di sini sejak waktu kita berhenti… Kenapa? Aku kehilanganmu, sangat, dan kali ini, aku tahu kalau hidupku adalah fatamorgana.
Saat itu juga Indra merasa takdirnya juga sudah selesai. Kematian Irwan menjawab semuanya, tak ada alasan lagi dia bertahan untuk Zaki. Bukankah satu-satunya alasan aku hidup hanya untuk membuatnya berbalik lagi? Membuatnya sadar bahwa masih ada aku? Kini dia mengerti bahwa Zaki tidak akan pernah bisa kembali, dia terlalu mencintai yang lain, maka sisa untukku tak ada lagi…
Kamu pergi, aku sendiri, sangat sendiri…
*****
Entah sudah berapa lama dia terbaring di tempat tidur. Tidak makan juga tidak minum. Yang ada di genggamannya saat ini adalah sebuah pisau lipat. Biasanya ada yang menggenggam tanganku ketika aku kesepian dalam sendirian, sambil menyenandungkan syair-syair.
Sulisati, betapa kini aku merindukannya. Kemana dia saat aku membutuhkannya?
Pada detik terakhir, dia memanggil-manggil Sulisati, mulai dari sekedar bisikan sampai suara keras, dia sudah tidak peduli andai ada yang mendengar, masih adakah yang peduli?
“Sati, apa kamu masih ada?”
Dia terus memanggil tapi tidak ada yang datang. Bahkan sahabatku, Sulisati, juga meninggalkan aku. Tidak disisakannya satu pesan pun, aku akan mati dalam kesendirian! Dia mengepalkan tangan. Geram. Aku tidak ingin mati dalam keadaan seperti ini, aku hidup kesepian, setidaknya saat mati aku ingin ada teman!
*****
Lama, tetap tidak terdengar suaranya. Hanya detak jarum jam yang terdengar begitu lambat baginya. Dia mengangkat tangannya yang sudah melemah. Tugasku sudah berakhir, menjaga cinta untuknya dengan sekuat tenaga. Tak ada lagi yang harus dilakukan…
Tapi detik berikutnya dia mendengar suara yang sangat dikenalnya, itu suara Sulisati, hanya saja dia tidak melihat sosoknya!
Kamu sedang jatuh cinta bukan? Jadi apa yang kamu lakukan?
Sebentar lagi kamu akan berbaring di sebuah sumur tanpa dasar, ditaburi kekalahan. Atau kau bisa juga terbang dan tak melihat kebawah, menuju matahari yang sebentar lagi akan padam
Silahkan pilih, tapi yang satu tak lebih baik dari yang lain...
Dia memanggil lagi “Sati! Sati kamu dimana?”
Tidak ada jawaban...
Dia memanggil lagi “Sati, kamu biarkan aku sendirian?”
Tidak ada jawaban
*****
Entah pada waktu keberapa, dia memutuskan, sekarang sudah saatnya! Dia menekankan mata pisau ke urat nadi di tangan kiri, sepintas dia masih merasakan denyutan. Dia menghitung, denyut nadinya normal, sudah kubilang aku sangat tenang. Tiba-tiba terdengar lagi suara Sulisati
Mungkin kau akan sadar ketika kehancuran itu tiba...
Dia mendengus keras, tak digubrisnya suara itu, sudah terlambat Sati! Pisau makin ditekan ke pergelangan, dia sering menganggap urat nadi adalah penanda kehidupan yang paling bisa dihitung. Sebuah hitungan mundur menuju kematian.
Tak ada alasan berarti memiliki alasan, tidakkah kamu sadar?
Ketika suara itu terdengar, pisaunya sudah berpindah ke leher, disana ada urat besar yang bisa saja putus jika ditancap dengan ujung pisau. Irwan, aku meniru cara matimu, tidakkah kamu suka? Dia yakin setelah ditancap pisau maka detik itu juga darah akan memancar dari leher, lalu nafasnya akan keluar dengan suara menggorok, terbuang sampai paru-paru kempis. Lalu aku mati! setidaknya itu lebih cepat daripada menantikan badan mengering karena darah mengucur dari pergelangan tangan. Dia memejamkan mata, kematian sepertinya begitu nikmat, jadi kenapa juga dulu aku pernah dilahirkan?
*****