Lorong itu dimasukinya ketika jam dinding berdentang dua belas kali. Dia tersadar dan masih merasakan wangi tubuh Sulisati memenuhi kamar. Dia mendapati dirinya masih ada di ruangan yang sama, hanya bedanya, kegelisahannya sudah sirna, dia merasa baik-baik saja.
Kini dia terbaring, memandang langit-langit. Malam terasa merayap seperti kura-kura. Dia merasa terkurung pada perasaan baik-baik saja yang sangat sunyi
Lalu antara sadar dan tidak, Indra mendengar jam berdentang dua kali. Sudah dua jam tapi kenapa tak terasa, bukankah justru aku merasa waktu merayap pelan? Dia merasa terjebak dalam elastisitas waktu yang tak bisa didefinisikan.
Masih dalam kondisi yang tak bisa dipahami pahami, kini dia merasa badannya bangkit dan melangkah keluar. Setiap langkah terasa berat seperti sambil menyeret jutaan beban. Tapi tak urung sampai juga dia di depan pintu yang langsung terbuka. Indra bertanya-tanya, apakah aku kembali terjebak dalam mimpi? Apakah aku kembali terjebak dalam misteri-misteri?
Ternyata tidak ada waktu untuk bertanya, sebab di depannya kini ada sebuah cermin yang sangat besar, seukuran tinggi tubuhnya, hanya dua kali lebih lebar. Indra melangkah perlahan mendekat, perlahan menyentuhkan tangan, cermin itu begitu dingin dan jernih. Ada bayangannya di sana, tak beda dengan aslinya, tapi makin lama bayangannya makin kabur dan pada detik kesekian Indra melihat bayangan Sulisati pada cermin itu, sedang tersenyum manis.
Tapi Indra tercekat, mungkin saja itu bukan Sulisati!
Sebab untuk kedua kalinya sosok itu seperti bukan lagi kembaran Indra, sosok itu seperti memiliki wajah sendiri, wajah yang sangat bersih. Sosok itu bukan lagi jadi pantulan, tapi jadi pribadi yang berbeda. Sosok itu memakai gaun putih melambai-lambai, matanya bersinar hangat, tapi justru Indra merasa sangat asing.
Indra mundur dua langkah, tercekat melihat sosok di cermin juga melangkah maju dan keluar dari dalam cermin. Gaunnya melambai-lambai. Sosok itu mengulurkan tangan, seperti ingin merengkuhnya, Indra kembali mundur
“Siapa kamu?” tanya Indra
“Aku adalah jalan bagimu untuk meraih lembaran baru, aku ditugaskan membimbingmu, menjagamu sampai kau merasa cukup kuat untuk keluar dari kepompongmu, menjelma kupu-kupu dan terbang bebas ke seluruh semesta. Dan sekarang kamu sudah melewati masa-masa kepompong, dan dengan sempurna menjadi kupu-kupu...”
Indra sedang tidak ingin mendengar puisi, dia menggeretakkan gigi dan bertanya kembali dengan geram “Aku tidak tanyakan itu! Yang aku tanya adalah kamu itu siapa? Bagaimana kamu bisa masuk ke dalam mimpiku? Sebab kamu bukan Sulisati...”
Sosok itu memotong dengan tersenyum manis. “Tidak penting apakah aku Sulisati atau bukan, mungkin saja aku adalah sosok tanpa nama, tapi yang pasti aku sama sepertimu, aku adalah cermin bagimu, begitupun kamu. Kita adalah cermin satu sama lain, aku berkaca padamu setiap detiknya, begitupun kamu. Aku mengagumi keindahan yang dipahatkan Tuhan dalam setiap gerakmu, dan kamu menemukan aku menjadi tempat sandaran yang nyaman. Jadi sudah tidak penting apakah ini sebuah mimpi atau bukan...”
Indra terdiam mendengar penuturan itu.
“Indra, kamulah yang membuatku ada, keinginanmu yang mendatangkan aku dan semua bahasaku. Aku menjagamu dan kamu membentukku. Kamu sudah keluar dari kepompong sekarang, dan lihatlah kamu... kamu menjadi lelaki sejati, kamu jatuh tapi mampu bangkit, kamu menderita tapi tidak hancur, itulah kamu...”
Perlahan sosok itu mendekat, dan membelai pipi Indra, lembut. Indra memejamkan mata, ada kesedihan yang menyusup dalam, seperti kehilangan yang dipaksakan. Sejujurnya dia merasa tangan itu sedang membelai hatinya, lalu terdengar suara sosok itu berpuisi
Tempat berteduh di sini
sudah cukup dalam untuk sebuah perlindungan
Kini kubiarkan kamu melesat dalam jajaran takdir yang tertulis