Blurb
"Di saat para pejuang lainnya dipeluk oleh kedalaman samudera, atau menyepi di dasar sumur dan jurang tanpa pijar cahaya ... kau justru tertidur di sini selamanya dalam belenggu api yang membara."
Di perjumpaan kita kali ini, agaknya semesta merasakan kepiluan yang sama. Karena semenjak kedua kakiku yang lunglai ini mulai melangkah tuk memasuki jenggala yang terasingkan, jumantara pun turut menangis pedih.
Dari lindap kelabu yang mengusir keindahan lembayung jingga, ia mulai menjatuhkan air matanya ke atas bentala, membasuh bekas-bekas rudira yang membaur bersama pekatnya jelaga.
Pair jantungku mulai berdebam keras, di kala netraku yang serupa elegi menatap sebuah pemandangan yang menimbulkan pengap di dada; Sebuah reruntuhan gubuk yang tak berbentuk lagi, ia runtuh bersamamu dan rekan-rekan seperjuanganmu dalam kobaran api yang merampas nyawa.
Di bawah sandyakala yang menghampar dengan indahnya, daku bisa melihat dengan jelas sisa-sisa pembakaran yang memberangus ragamu. Jejak kebengisan para manusia tanpa sanubari itu masih tergambar nyata dari serpihan puing kayu dan batu-bata yang berhasil lolos dari lalap api.
Bahkan abu dari tubuhmu yang terbelenggu
oleh bara api mungkin masih mengendap dan tertinggal di bawah sini, jika itu terjadi ... Maaf, aku tidak bisa membawamu pulang secara utuh tuk berjumpa dengan bapak dan ibu.