"OH my," pekik Aira berlebihan.
Dia sampai kesulitan menelan ludah dan sulit berkedip begitu melihat para Kopassus yang melakukan latihan fisik hanya dengan menggunakan celana loreng tanpa baju. Kotak-kotak yang tersusun di perut dan otot-otot yang terbentuk sempurna di lengan, sungguh ini bisa membuat ngiler kaum hawa yang matanya hobi liar ke mana-mana.
"Astatangggg kenapa gue baru tahu ada tempat dengan orang-orang sekeren ini?" teriaknya super histeris dalam hati.
Melihat otot-otot tiga kakaknya yang juga anggota Kopassus biasa baginya, tapi kalau melihat otot Kopassus lain kesannya menjadi beda. Alhasil jadilah dia seperti pengamat sepak bola di samping lapangan, dan duduk di kursi seperti orang aneh dengan mulut sedikit terbuka.
Tepat di sampingnya tampak beberapa tentara melakukan pull up membuat otot-otot dan postur perut keren mereka makin terpampang jelas dan nyata.
"Wow." Aira tak dapat menahan kekagumannya.
Ada yang push up dengan cepat membuat pundaknya tampak kelihatan indah.
"Mamaaaaa," gumamnya takjub luar biasa.
Mulut gadis itu sampai menganga dengan mata yang sudah mau keluar dari tempatnya. Perlahan tangan kanannya naik dan menyangga dagu. Matanya melirik lagi ke sisi yang lain, tampak ada yang sedang mendorong ban kontainer yang super besar dengan keringat yang bercucuran dari samping dahi.
"Macho banget."
"HEH!"
Okay, suara itu seperti kaset rusak yang mengganggu kesenangannya.
Mendadak ekspresi Aira berubah kecut agar Azka tahu diri, kalau dia itu seperti hama. Hama di dunia ini.
"Kenapa kamu masih diam saja di sini ?" tanya pria itu dengan nada ketus.
Manik coklat Aira malah melirik si baju loreng dengan lengan yang digulung rapi di atas siku itu dengan malas.
"Lo bisa diam enggak sih? Enggak senang banget orang lain bahagia."
Rahang Azka mengeras seketika. "Ck! Jangan membantah saya!" Mahasiswi di hadapannya itu benar-benar keras kepala menurutnya.
"Heh? Gue enggak tahu siapa nama lo ya, itu enggak penting buat gue."Aira mengibaskan tangan di depan wajahnya, "asal lo tahu aja nih ya, gue di sini buat nulis bukan buat latihan jadi prajurit. Lo mesti profesional dong! Gimana, sih?"
"Kalau kamu mau menjiwai tulisan kamu, seharusnya kamu harus mengambil bagian dari latihan."
Alasan pria berpangkat kapten itu lumayan bermutu, sayangnya jawabannya tak membuat Aira tergugah. Gadis itu cuma meliriknya dengan sudut mata tajam, sebelum kembali menatap fokus ke depan. Dia benar-benar tidak akan mendengar nasehat Azka. Selamanya.
Azka tetap tak menyerah. "Kamu dengar, tidak? Kerjakan kalau begitu! Jangan pura-pura tuli!"
"Ih ...."
Spontan tangan gadis berhijab navy itu turun mengambil kerikil lalu memuaskan sasaran di jidat Azka.
HAP!
Sayang sekali sudah ditangkap duluan.
"Jarak kendali peluru saja saya hafal di luar kepala, apalagi soal kerikil kecil. Belajar lagi lebih banyak, Dik!" tekannya pada kata 'Dik'. Jelas sekali nada Azka mengejeknya sebelum berlalu.
Gadis itu sampai memukul kursi berulang kali menyalurkan rasa kesal. Tak begitu jauh Azka berbalik lagi yang membuat Aira cepat-cepat 'menormalkan' diri agar wibawanya tidak tercabik-cabik sebagai perempuan sekaligus anak Jenderal bintang empat. Walaupun tetap saja, sejak awal dia tidak ada wibawa sedikit pun di depan Azka.
"Masih di situ juga?" Alis kiri Azka meninggi. "Saya khawatir kamu benar-benar ngiler."
"Aish ...." Urat malu Aira terusik. Wajahnya sampai memerah persis tomat busuk. "Udah lo enggak usah—"