SUDAH pukul dua belas malam tapi Aira masih terjaga untuk mengetik. Sejujurnya dia bingung tentang cerita apa yang akan dibuatnya. Temanya jelas, tapi arah ceritanya itu yang membuatnya bingung. Alhasil waktu berjam-jam habis hanya untuk memikirkan ide. Belum lagi suara mendengkur dari luar yang mengganggu fokusnya.
Perlahan tangannya mencabut kaca mata lebarnya sebelum menutup laptop. "Besok jalan kaki lagi ke situ lembang," curhatnya entah kepada siapa, tapi yang pasti, memikirkannya saja sudah membuatnya sangat malas.
"Gue enggak mungkin menelepon Papa untuk minta bantuan. Kata Papa misi ini gagal kalau gue menelepon Papa atau orang rumah." Bibir Aira manyun seketika. "Aigooo kenapa Papa jadi gini banget, sih?" Dia heran saja kenapa Papanya sampai hati melakukan semua ini padanya.
Tiba-tiba bunyi deru mobil di luar membuatnya penasaran. Sontak langkahnya langsung berlari cepat ke arah jendela dan membuka gorden. Rupanya beberapa tentara tengah berpose hormat pada Azka sebelum memberikan kunci mobil beratap terbuka.
Aira langsung memegang ujung dagu sambil berpikir. "Dia bukannya pelatih, ya? Gue kira dia bakal menginap juga di sini."
Sebuah ide langsung tercetus di kepala cantiknya. Cepat-cepat tangannya meraih kerudung instannya lalu mengenakannya dengan cepat sebelum keluar melewati para prajurit yang tengah tertidur lelap di dipan-dipan yang berjejer.
"HEY!" panggilnya dengan suara keras begitu sampai di pintu. Kalau suaranya setinggi itu di rumah aslinya, mungkin Mamanya sudah akan melakban mulutnya semalaman suntuk.
Pria yang dipanggil berhenti sebelum menoleh dengan santai dari kursi kemudi. "Nama saya bukan 'hey'," ujarnya tak terima.
Aira langsung mencebik dengan wajah kesal lalu mendekat. "Gue mau minta bantuan lo dong. Bisa enggak? Bisa dong, ya!" ucapnya sambil memamerkan senyum kikuknya. "TNI, ‘kan menolong rakyat."
"Jangan mengalihkan pembicaraan!"
Gadis di samping mobil itu malah mengerutkan kening lantaran bingung. "Topik yang mana?"
Tak lama Azka mematikan mesin mobilnya. "Soal nama saya yang bukan 'hey'." tekannya pada kata, ‘hey’.
Kali ini Aira melipat tangan di dada. "Terus? Gue harus—"
"Ajak saya kenalan!" potong pria itu sambil menunduk membenarkan topi santainya sebelum kembali mendongak dengan ekspresi menantang ke arah Aira.
Gadis itu malah berekspresi kesal luar biasa. "Jual mahal banget, sih, lo!"
"Terus?" balas pria itu seolah tak mau tahu.
"Gue—"
"Ajak saya kenalan!" potong Azka lagi. "Atau saya pergi," ancamnya.
Aira merasa di posisi darurat tapi tetap saja memasang gengsi. "Ya udah, lo pergi aja sana!" Langkahnya sudah siap kembali ke kamar jika saja hitungan itu tidak menghentikannya.
"Satu."
Melangkah lagi.
"Dua."
Setengah kesal gadis itu berbalik dengan wajah jengkel. "Mau lo apa, sih?"
"Sudah jelas!"
"Ya sudah lo pergi aja sana! 'Kan enggak jadi gue minta bantuan lo!" Nadanya ketus.
Bukannya ikutan tersulut emosi, pria yang diajak bicara itu malah tertawa sinis. "Kamu sudah menahan saya dan menghabiskan beberapa menit dalam hidup saya yang tidak akan kembali."
"Asli ini cowok paling lebay yang pernah gue temuin," batin Aira.
"Konsekuensinya adalah ajak saya kenalan. Itu kesimpulannya."
Pria itu langsung turun dari mobilnya dengan santai lalu berjalan mendekat menyisihkan sedikit jarak. Mereka berhadapan di bawah cahaya temaram di depan pintu barak.
"Kalau gue enggak mau?" Aira balik menantang.
"Push up!"
"Ish." Bibirnya mendesis sebal tapi akhirnya menyerah lalu mengulurkan tangan juga. "Aira." Suaranya terdengar tidak ikhlas.
"Yang benar!"
Mata Aira langsung melotot. "Ini udah yang paling benar! Memangnya lo mau gue angkat tangan di atas kepala lo?"
Azka tidak dapat menahan senyum lantaran lucu. "Kapten Azka."