MR. KRAB

Faiz el Faza
Chapter #1

You Can Call Me JJ

“My name is Jamal Jauhari. You can call me JJ. Going to America is my small step around the world.”

“Finish, thank you very much.”

“Your welcome.”

Mr. Ardi menyuruh JJ meninggalkan tempat duduk ber-background sebuah banner Patung Liberty. Ferdi, Yuski, Intan dan Betty yang berdiri di belakangnya, mulai berjalan ke arah JJ. Mereka berlima melakukan sesi foto bareng setelah sesi pengambilan video JJ, kompilasi final atas terpilihnya JJ sebagai delegasi Pertukaran Pelajar Indonesia-Amerika oleh Kementrian Pendidikan Kabinet Indonesia Bersatu era kepresidenan Bapak Susilo Bambang Yudoyono.

Ketika berada di rumah, baik kemarin, hari ini, dan esok, ia selalu saja sudah, sedang, atau akan membicarakan perihal terpilihnya sebagai delegasi SMA-nya dalam Pertukaran Pelajar Indonesia-Amerika. Kepada ayah dan ibunya, ia selalu menyuguhkan wajah kebanggaan. Kepada teman atau tetangga, ia selalu menyuguhkan wajah keberhasilan. Kepada dunia, ia ingin mempublikasikan bahwa ini loh seorang anak tukang kayu dari Mebel Jamal yang sebentar lagi akan mengunjungi lima kota besar di Amerika, Washington, Los Angeles, New York, San Fransisco dan Boston, selama 14 hari.

Namun, semua itu hanya angan.

Pada detik ini, ia berada di undakan sekolah. Duduk sendirian dalam situasi yang hening. Semua warga sekolah, teman-temannya, sedang asik menikmati ujian. Sementara itu, ia duduk termenung dengan membayangkan Patung Liberti di depannya, foto di depan patung itu untuk dipamerkan di Facebook-nya demi dan mengutip kata motivasi tentang kehidupan. Karena baginya, perkataan apapun entah itu buruk atau baik, yang keluar dari orang yang sudah mencapai puncak, selalu menjadi kiblat. Sementara kata-kata yang keluar dari orang biasa, meskipun toh berbobot, berisi kehakikian, bermajas tinggi, sering kali dipandang sampah.

 

300 detik yang lalu ...

Ia duduk di bangkunya untuk mengikuti ujian semester II kelas sebelas. LJK mulai dibagikan oleh guru pengawas. Sebelumnya bapak pengawas itu tidak menyuruh anak-anak di kelasnya untuk mengeluarkan kartu ujian. Ia lega sebab belum mengambil kartu karena terkendala masalah pembayaran seperti SPP, Lab, dan lain-lain.

Namun saat lembar soal sudah dibagikan, datanglah Bapak Kesiswaan. “Mohon semua siswa dan siswi, menunjukkan kartu ujiannya di meja masing-masing.”

Jantungnya berdebar-debar. Ia tahu sebentar lagi akan dikeluarkan. Benar memang. Begitu Bapak Kesiswaan datang ke bangkunya yang berada di pojok kiri belakang sendiri, telinganya seketika mendengar, “Wah kamu ini siswa ilegal!”

Dengan malu, ia keluar dari kelas. Ia disuruh untuk melunasi pembayaran terlebih dahulu. Namun, ia bingung dengan apa melunasi pembayaran itu. Ia sadar uang tidak bisa dicari dengan mudah seperti mengais daun-daun kering yang beterbaran di teras kelas saat ia berjalan menuju tangga dan duduk di sana.

Dengan duduk di atas anak tangga, ia melamun sembari menopang dagu. Ia tahu bahwa ini bukan kali pertama ia dikeluarkan dari kelas saat ujian berlangsung karena pembayaran sekolahnya belum tuntas. Sejak SMP sampai saat ini, kelas sebelas SMA, ia selalu di keluarkan di hari pertama ujian.

Anak miskin yang sekolah, seorang seorang siswa yang ilegal, ucapnya dalam hati. Ia tidak tahu harus berekspresi apa lagi. Ia tahu kalau Bapak Kesiswaan itu tadi hanya melucu. Namun, ia tidak tahu lucunya tuh di mana. Sebab di sini, di hatinya, masalah status ekonomi keluarga yang privasi tidak bisa dibuat lelucon.

Ia teringat akan mimpi-mimpinya yang terkubur.

 

11 bulan yang lalu ....

Saat clasmeeting kenaikan kelas di SMA-nya yang berada di Kota Malang itu, ia melihat ada pengumuman di majalah dinding sekolah. Terpampanglah selebaran pamflet yang dikerubungi anak-anak. Pamflet itu berisikan Program Pertukaran Pelajar Indonesia-Amerika oleh Kemendikbud untuk kelas sebelas dan sepuluh. Sekolahnya, terpilih mengikuti program itu bersama salah satu SMA di Surabaya mewakili Jawa Timur.

Ia menyerobot antrian demi melihat persyaratan menjadi delegasi. Beberapa anak yang ia serobot mengeluh padanya dan ia tidak peduli. Patung Liberti sebagai simbol kebebasan benar-benar membaskannya dari kritikan anak-anak yang ia serobot. Begitu membelah kerumunan, ia membaca persyaratan bahwa tes dalam program itu adalah serangkaian tes bahasa Inggris. Ia sadar memiliki kemampuan dalam berbahasa Inggris. Senyumnya pun segar merekah.

Setelah mendaftar, serangkaian tes baru dimulai setelah liburan kenaikan kelas. Dari sekian jumlah siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas, hampir 70% mendaftarkan diri. Siapa sih yang tidak mau ke Amerika.

Lihat selengkapnya