Suka duka, dua sisi kehidupan, terlengkapi oleh seorang kekasih. Begitulah yang dirasakan oleh JJ. Memiliki dan dimiliki Puput, teman seangkatan dari anak IPS, adalah sebuah anugerah yang menyifati air, menempati segala ruang dalam hatinya, bahkan pemikiran-pemikirannya.
Sepulang dari sekolah saat ia terusir waktu ujian, Puput langsung menemuinya sepulang sekolah. Puput menemuinya di suatu tempat? Tidak. Puput langsung berkunjung ke rumahnya.
Begitu Puput tiba di rumahnya, Puput langsung menemui pada ayah ibunya, Pak Sawani dan Bu Juhairah.
“Loh Puput toh. Kok sudah pulang?” tanya Pak Sawani saat keluar dari rumah di sebelah gudang kecil, Mebel Jamal.
“Anu Pak, tadi ujian.”
“Gimana Nduk, ujiannya?”
“Lancar Pak. JJ-nya udah pulang?”
Bu Juhairah berada di toko kecil yang mulanya adalah kamar milik JJ. Selepas JJ lulus SD, ia dipindah kamarnya oleh bapak ibunya di sebuah kamar berukuran 2x3 meter dengan tinggi dua meter di pojok atas gudang Mebel Jamal.
Saat itu, JJ sebenarnya menolak harus berada di kamar sempit berlampu cempluk itu. Namun, kamar di rumahnya hanya ada dua, kamar pertama dihuni oleh orangtuanya, kamar kedua dihuni oleh saudara perempuannya, Mbak Sumaiyah. Selulus SD, kakaknya sudah kelas kelas satu SMA. Untuk tinggal sekamar dengan Mbak Sumaiyah, tentu perlu pemikiran panjang. Mau tak mau, ia mengalah.
Bu Juhairah tidak begitu mendengar percakapan Puput dengan Pak Sawani. Ia sedang asik menata barang-barang dagangannya seperti mie instan, rokok, korek api, rentengan minuman dan kopi, makroni pedas dan manis, krupuk impala, krupuk udang, krupuk wahing, air mineral gelas dan botol ukuran kecil, sedang dan besar, obat sakit kepala, obat flu dan batuk, obat flu saja, obat batuk saja dan lain sebagainya. Pokoknya, Bu Jahairah menjual apa yang bisa ia jual. Tidak peduli tatanannya yang semerawut, penting bisa laku. Ia hanya menjual barang-barang yang sekiranya banyak dibutuhkan di warga sekitar.
“Bu,” dengar Bu Juhairah. Kepalanya berputar ke arah Pak Sawani. “JJ sudah pulang Bu?” lanjut Pak sawani
“JJ ... siapa itu JJ?”
“Jamal, Bu.”
“Sudah. Tadi anaknya langsung nyelonong ke atas.” Bu Juhairah menatap Pak Sawani kemudian. Tatapannya sinis. Sadar hari ini putranya ujian. Sebelumnya, ia mengira putranya sedang dalam keadaan hati yang buruk karena berkelahi atau apa, sebab saat pulang langsung nyelonong begitu saja. Kini ia tahu putranya murung, pasti karena dikeluarkan dari ruang ujian. Sekarang, ia memelototi Pak Sawani. Ia cukup kecewa suaminya itu kok kurang perhatian kepada putranya.
Tatapan Bu Juhairah membuat Pak Sawani celingak-celinguk khawatir. Ia tahu sebentar lagi istrinya itu akan menanyakan perihal pembayaran sekolah JJ di depan Puput. Untung saja ada suara kayu yang dihentak-hentak. JJ turun dari kamarnya dengan memakai celana abu-abu dan kaos berwarna hitam berlogo burung jalak, merek bubuk kopi.
Puput seketika melihat kaos yang dipakai belahan hatinya itu. Ia ingat satu pekan yang lalu ketika berkunjung, JJ memakai kaos partai. Dua pekan yang lalu, JJ memakai kaos bergambar merek ditergen. Tiga pekan yang lalu, JJ memakai kaos bergambar merek sirup yang iklannya di televisi dan radio, istiqomah nongol menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Begitu JJ memasang wajah sumringah seturun dari tangga, Bu Juhairah seketika terselimur. Pak Sawani melega atas kehadiran JJ. Senyum yang terukir di wajah JJ, serta merta membuatnya haru. Lelaki dua anak itu berada di antara rasa lalai dan lemah. Lalai karena lupa bahwa JJ ujian. Lemah karena faktanya ia sudah dimintai uang pembayaran oleh JJ beberapa hari yang lalu, namun ia tak punya uang.
Sebenarnya, ia harus berterima kasih pada Puput, karena Puputlah yang membuat JJ tersenyum. Tanpa kehadiran Puput, tak khayal wajah sumringah JJ tidak akan terpancar.
“Bu, buatkan minuman dulu,” katanya sembari meninggalkan JJ dan Puput.
Bu Juhairah pergi ke dapur. Pak Sawani yang mendahului Bu Juhairah, masuk ke kamar. Setelah menutup kamar, ia lekas membuka lemari. Tangan dan matanya mencari sesuatu yang terselip di antara lipatan-lipatan baju. Begitu tangannya merasakan sentuhan logam, ia lekas menarik sebuah benda. Dari hitam matanya kini, tercermin sebuah arloji berwarna silver.
Begitu keluar dari rumah, ia berpamitan kepada Puput yang duduk di kursi kayu bersama JJ. Ia berkata bahwa ada urusan dengan seseorang. Namun, ia tidak mengatakan urusannya apa. Ini privasi seorang bapak untuk menempuh jalan nafkah. Ia akan pergi ke Pasar Comboran untuk menjual arlojinya demi membebaskan keilegalan JJ.
“JJ, maneken-maneken itu dapat dari mana?” tanya Puput saat melihat ada maneken-maneken di dekat anak tangga.
“Oh, itu dari Matahari.”
***
Satu minggu yang lalu ...
Setiap orang yang melewati Jalan Merganlori, pasti akan melewati plakat bertuliskan “Mebel Jamal” yang menggantung di bawah atap sebuah gudang kayu kecil milik Pak Sawani. Bukan tanpa alasan Pak Sawani menamai mebelnya dengan nama sang anak. Ia berdalih semoga nama itu bisa memengaruhi si penyandang nama, alias mau meneruskan usahanya itu.
Mebel Jamal adalah mebel kecil yang bersaing di antara mebel-mebel besar seperti Mebel Rusli, milik Abah Kholid. Ada juga yang lebih besar yaitu mebel sekaligus gudang besi tua milik Habib Toha, seorang habib yang dipandang nyeleneh dan memilih membaur dengan masyarakat. Perawakan beliau yang kecil, tidak seperti keturunan Arab pada umumnya, gaya bicara beliau yang blak-blakan, pakaian beliau yang terkadang compang-camping, membuat masyarakat Merganlori sampai Sukun, tidak pernah mengira bahwasannya beliau adalah keturunan seorang habib besar di Malang.