Suara tawa JJ dan Puput mulai mereda. Berangsur-angsur menyunyi seperti deru lalu lalang kendaraan yang mulai samar.
“JJ,” panggil Puput dengan manis.
“Iya, Put.”
“Apa cita-citamu?”
“Cita-citaku.” JJ menatap ke depan. Sebuah mobil sedan berwarna silver melewatinya. Ia sempat melihat ada dua orang yang duduk di depan, lelaki dan perempuan yang saling tertawa satu sama lain, penuh kemewahan kelihatannya. Ia menatap Puput. “Aku ingin menjadi orang kaya Put. Dalam artian kekayaan sebenarnya, artinya sukses, bahagia hingga sampai di kehidupan kedua.”
Ia mengambil napas panjang. “Put, aku ingin suatu saat punya rumah besar seperti di mereka-mereka yang tinggal di Perumahan Ijen. Aku ingin menjadi seorang pengusaha yang mempunyai banyak karyawan seperti Abah Kholid. Aku ingin keluar negeri Put. Mengunjungi banyak tempat di dunia ini. Mengunjungi landmark-landmark terkenal di seluruh dunia.
Saat kecil, aku pernah merobek gambar tujuh keajaiban dunia di atlas milik Mbak Sumaiyah dan menempelkannya di kamar. Sampai saat ini, robekan gambar itu masih kusimpan baik-baik. Aku ingin membeli makan di Restauran AW, seringan membeli mi ayam Cak Pud ....” Nada suaranya sedikit parau kemudian. Perkataannya pun terhenti. Ada suatu keharuan yang mendalam saat mengungkapkan isi hati. Ia sadar perkataaanya telah menjadi kalimat-kalimat yang tidak padu.
Puput memang sosok yang telaten memberinya senyum. Sambil menepuk punggungnya beberapa kali, Puput berkata padanya, “Lalu?”
Ia mengatur napas sekali lagi. “Kamu pasti tahu kadang aku suka bolos sekolah ke warnet. Aku bukan mencari file 3gp tentunya.”
Puput tertawa mendengarnya. “Apa sih, serius dong!”
“Aku serius ....”
“Iya-iya, teruskan!”
“Aku sering nonton Youtube, Put. Aku mencari inspirasi seperti bagaimana memasak nasi goreng ala Jepang atau bagaimana cara membuat membuat website. Aku juga mencari biografi-biografi orang-orang terkenal, seperti Jack Ma. Aku mempelajari bagaimana perjalannya mendirikan Ali Baba. Tentu saja aku membaca biografi orang-orang hebat lainnya seperti Bill Gates, Steve Jobs, Mark Zuckeberg.
Aku pernah membaca kisah runtuhnya Jepang pasca-Hiroshima dan Nagasaki. Kaisar Hirohito mengumpulkan semua jendral masih hidup yang tersisa menanyakan kepada mereka ‘Berapa jumlah guru yang tersisa?’
Para jendral pun bingung mendengar pertanyaan Kaisar Hirohito dan menegaskan kepadanya bahwa mereka masih bisa menyelamatkan dan melindunginya walau tanpa guru. Namun, Kaisar Hirohito kembali berkata, ‘Kita telah jatuh, karena kita tidak belajar. Kita kuat dalam senjata dan strategi perang. Tapi, kita tidak tahu bagaimana mencetak bom yang sedahsyat itu. Kalau kita semua tidak bisa belajar, bagaimana kita akan mengejar mereka? Maka kumpulkan sejumlah guru yang masih tersisa di seluruh pelosok kerajaan ini, karena sekarang kepada mereka kita akan bertumpu, bukan kepada kekuatan pasukan.”
“Jadi, kamu ingin kuliah karena ingin jadi guru?”
“Tidak, maksudku aku meyakini bahwa aku bisa mengubah nasib hidupku, jika aku mempunyai pendidikan. Jadi, apakah aku nanti? Yang jelas aku meyakini bahwa pendidikan mampu membuat hidupku lebih baik dari saat ini. Kasarnya, kalau punya titel, kan bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.
Aku tidak ingin nantinya anak-anakku sepertiku, dikeluarkan dari kelas saat ujian berlangsung dan disebut sebagai siswa ilegal. Mbakku tidak kuliah karena tidak adanya biaya. Padahal aku tahu dia cerdas. Dia adalah bintang kelas mulai SD sampai SMA. Karena gagal masuk bidikmisi, ia pun tidak jadi melanjutkan pendidikannya sampai ke perguruan tinggi. Padahal cita-citanya ingin menjadi seorang guru matematika. Sekarang, mbakku hanya membantu Cak Gimin berjualan lalapan, sembari menunggu ada lelaki yang meminangnya.
Aku bukannya tidak bersyukur atas kehidupan ini. Cuma, aku ingin sesuatu yang lebih baik. Cuma apa ya ... aku cuma bayangin aja apakah aku nanti hanya seperti mbakku. Apalagi aku tidak cerdas. Rangking selalu terbawah. Bodoh pelajaran matematika. Tetapi, aku sudah tidak tahu lagi cara untukku kuliah.
Aku ingat mbakku pernah melamun melihat postingan-postingan teman-temannya yang liburan ke sana-sini ... ke Pantai Ungapan, Bromo, Semeru. Suatu saat aku juga akan bernasib sama seperti mbakku. Aku cuma bisa melihat teman-teman kuliah diantar pakai mobil orangtuanya. Aku cuma bisa melihat mereka mem-posting di Facebook bahwa sudah diterima di UIN Maliki, lalu foto di depan gedung-gedung besar di sana. Kadang aku iri sama mereka-mereka. Kuliah bawa kendaraan pribadi. Selesai kuliah nongkrong. Akhir pekan ke Matos, nonton bioskop, shopping, dan upload ke sosial media bersama teman atau pasangan.
Aku pun juga sudah mencoba bidikmisi, kamu tahu bukan kalau aku gagal. Aku sekarang nggak tahu harus bagaimana. Andai saja aku beruntung di bidikmisi, dadu keburungtungan, mungkin kehidupanku tidak seperti malam ini. Besok, aku nggak tahu mau ngapain ....”
“JJ, kamu memang ingin kuliah?”
“Iya, Put.”
“Kuliah saja.”
“Caranya?”
“Bilang saja ke bapakmu kalau kamu kuliah atas biaya sendiri. Kuliah sambil kerja.”