Matahari sudah kembali ke peraduannya. Langit tampak menyisakan cahaya kemerahan yang kemudian lenyap tertelan kegelapan langit malam. Suasana Tanah Seira tak ikut terbenam. Mereka semakin bersemangat karena lampion mereka menyala dalam gelap. Kincir angin mereka berputar karena angin yang bertiup lembut.
Para ibu membawa hasil panen berupa padi, gandum, buah, sayur, kacang dan sebagainya. Ada yang menggendongnya di punggung, ada yang meletakkannya di kepala, dan ada yang menggendongnya di depan. Para bapak memainkan alat musik sambil sesekali menari. Serunai, kecapi, gendang, ceracap, rebab dan sebagainya. Anak-anak berlarian dan menari ditengah rombongan. Sudah ada hasil tuaian yang disusun menjadi patung manusia sebagai representasi semua hasil panen yang baik. Patung manusia itu diletakkan di atas gerobak dan diarak.
Dua orang pendatang yang sebenarnya bertugas mengintai, Adney dan Ansell ikut memeriahkan pesta syukuran. Adney memerhatikan patung manusia yang diarak warga.
Tanah ini sangat subur dan baik. Hasil tuaiannya sangat berlimpah. Pantas saja raja ingin merebut tanah ini.
Adney melihat Ansell di sebelahnya yang menyunggingkan senyum lebar. Ia mengira Ansell adalah warga Tanah Seira karena terlihat begitu alami dan berbaur.
Tradisi seperti ini apakah akan dilanjut saat penduduk kerajaan merebut daerah ini?
Ansell menyukai tradisi itu. Semua warga berkumpul dan bergembira bersama. Tak peduli pekerjaan mereka nelayan, tukang kayu, pedagang, petani, mereka tetap berbaur dan menikmati malam itu bersama.
Semua warga dan dua pendatang itu mengelilingi daerah itu dari pemukiman satu ke pemukiman yang lain, melewati pasar yang tentunya tutup dan sepi karena smeua bergabung dalam festival. Rombongan melewati jembatan kayu yang besar. Air sungai mengalir lembut di bawahnya. Suaranya begitu menenangkan. Bayangan bintang dan bulan tampak menari dalam air yang tampak sangat bening.
Adney dan Ansell berkesempatan memelajari Tanah Seira. Mereka memerhatikan tiap sudut daerah itu, mulai dari perbatasan dan daerah yang baik untuk menyerang. Daerah itu tak terisolasi. Tak ada tembok besar yang menandakan perbatasan. Hanya pohon-pohon tinggi yang rapat yang menjadi acuan bahwa di belakang pohon itu hutan belantara.
Setelah berkeliling desa, mereka kembali ke rumah kepala daerah. Di tanah lapang sudah didirikan sebuah podium dari batu besar rata untuk meletakkan patung. Puluhan orang berhati-hati memindahkan patung ke atas batu. Kepala daerah berdiri di sampingnya.
“Saudaraku, penduduk Seira. Tanah selalu memberikan kita hasil yang baik untuk kehidupan kita. Tahun ini, kita mendapat hasil tuaian yang sangat berlimpah. Oleh sebab itu, mari kita jaga tanah kita ini untuk kebaikan penerus kita. Hari ini, ada dua tamu kehormatan yang bersama kita. Kuharap kalian dapat memperlakukan mereka dengan baik. Biarkan mereka menikmati hasil baik tanah kita”
Adney dan Ansell merasa kaku. Ia hanya bisa memandang kiri dan kanan, menyapa warga di sekeliling mereka. Senyum kepala daerah tampak tulus ke arah mereka.
“Sebelum kusudahi, aku akan mengumumkan sesuatu yang penting. Putriku, Dewi Davonna Asyera akan menikah!”
“Hidup Dewi Asyera!” sahut para warga.
“Dia yang membuat tanah kami subur. Menghasilkan tuaian pada waktunya. Begitu banyak bahkan berlimpah. Kehidupan sejahtera di depan mata.” Sahut warga lainnya. Mereka begitu bahagia dengan kabar itu. Kebahagiaan dewi adalah kebahagiaan bagi Tanah Seira.