Dewi Davonna termenung di teras rumahnya. Secangkir teh yang sudah dingin sama sekali tak disentuhnya. Pandangannya terutuju pada pintu gerbang di seberang halaman. Tertutup. Tak ada yang datang dari sana meski ia sudah memandanginya berjam-jam.
“Apa karena aku menghilangkan batu itu?” ia memandang langit yang cerah. Ia menyipitkan matanya karena sinar matahari cukup terik. Kulitnya yang pucat bersinar lembut di bawah hangat matahari.
Larenz. Ia sangat merindukan pemuda itu, calon suaminya. Sepulang berburu pemuda itu jatuh sakit. Entah apa yang terjadi di hutan saat ia berburu, ia pulang dalam keadaan lemas dan akhirnya pingsan di rumah. Ia tak sadarkan diri selama berhari-hari. Ia kemudian dibawa oleh beberapa warga ke tabib di wilayah lain karena tabib di daerah itu tak bisa menyembuhkannya.
“Apa kuceritakan saja pada ibu kalau ritualku gagal? Batu yang kubawa pulang itu bukan dari dasar sungai. Tapi...nanti aku akan dihukum” dewi menggigit bibirnya. Ragu. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya agar solusi cepat dicari, tapi ia juga tak mungkin tak dihukum.
Tiba-tiba terlintas dalam benaknya untuk kembali ke air terjun dan mencari batu yang telah ia lempar untuk menyelamatkan diri. Ia tiba-tiba bangit berdiri dan memiliki tekad kuat. Ia berlari ke dalam rumah. Ibunya yang sedang merangkai bunga terkejut melihat sekelebat manusia melesat sangat cepat.
“Dewi, perhatikan sikapmu! Kenapa seorang dewi tidak bisa anggun sama sekali?”
“Ibu, aku harus menyusul calon suamiku”
“Mereka sudah pergi dari kemarin. Kau tidak bisa mengejarnya. Saat ini kau seharusnya diam di rumah. Kalau terjadi sesuatu padamu, urusan akan semakin rumit”
“Ada yang harus kupastikan, Bu.” Melihat wajah serius Dewi Davonna, ibunya tampak tak tega. Ia bisa melihat kerinduan yang dalam pada kekasihnya di mata gadis itu.
“Baiklah akan kupanggil seseorang untuk menemanimu”
“Tidak perlu, Bu. Aku bisa sendiri. Aku harus cepat”
Siang itu juga, hanya berbekal roti gandum dan air dalam buyung kecil, dewi Davonna meninggalkan Tanah Seira. Banyak warga yang ingin mengantarnya dengan maksud melindunginya dari bahaya di luar Tanah Seira. Dewi menolak karena ia harus menyelesaikan masalahnya sendiri.
Semoga calon suamiku bisa sembuh setelah kutemukan batu itu.
Setelah berjalan cukup jauh dari Tanah Seira ia mulai lelah. Ia berjalan lambat sambil berharap kereta seseorang yang lewat atau kuda. Kuda? Tidak mungkin juga mereka membawa kuda tanpa penunggang. Langit mulai gelap tandanya malam akan tiba. Dari kejauhan ia bisa melihat cahaya kecil yang tampak cukup banyak. Ia sadar ia tak punya lentera. Dengan semangat baru ia melangkah dengan cepat ke arah cahaya.
Ia berjalan di tengah pasar yang hampir tutup. Ia mendekati seorang anak kecil untuk membeli lentera.
“Gadis manis, berikan aku lenteramu”
Gadis penjual lentera itu tampak terpesona dengan kecantikan dewi Davonna.
“Silakan, nona cantik”
Dewi memberikan uang dan juga roti gandumnya. Gadis itu tampak kecil dan kurus hingga dewi berpikir ia tidak makan dengan baik.