Larenz dan tiga orang temannya sudah dalam perjalanan pulang ke Tanah Seira. Meskipun belum sehat betul, tapi ia sudah bisa berjalan, bicara dan makan. Hanya saja tubuhnya masih lemah dan mudah lelah. Perjalanan pulang mereka cukup lama karena Larenz harus sering beristirahat.
Begitu sampai di tugu gerbang, mereka disambut beberapa orang dengan gembira. Salah satu orang langsung berlari lebih dulu mengabarkan ke seluruh penduduk.
“Senang sekali melihatmu kembali, kawan. Kau pasti sangat merindukan dewi Davonna. Ayo kita ke rumahnya"
Kabar kepulangan Larenz sudah sampai di rumah kepala daerah Haven. Dewi Eileen segera menyiapkan banyak makanan untuk calon menantunya. Dengan senyum dan senandung kecil ia memenuhi meja dengan makanan. Roti, sup, daging, telur, dan sebagainya.
“Bukankah ini berlebihan? Menantu kita hanya satu. Lagipula cepat sekali kau menyiapkan makanan sebanyak ini” kepala daerah Haven menarik kursi dan duduk. Ia terkejut melihat meja di depannya penuh dengan makanan.
“Dia baru sembuh. Harus makan banyak supaya cepat sehat dan kau lupa aku ini seorang dewi?”
“Oh ya, jangan dulu beritahu Dewi Davonna dan jangan keluarkan dia. Biarkan dia di sana sampai besok"
“Kalau Larenz bertanya, apa yang harus kita katakan?”
“Bilang saja dia pergi untuk menenangkan diri ke gunung karena dia sangat merindukan Larenz”
Dewi Eileen terdiam. Ia melanjutkan persiapan dengan merapikan letak piring dan kursi. Seketika ia mengangkat kepala. Tubuh tegap dan wajah tampan terlihat di luar pintu. Senyum manisnya mengembang cerah. Calon menantunya datang dengan keadaan sehat meskipun terlihat sedikit kurus.
Dewi Eileen berlari mendapati calon menantunya dan menariknya masuk dalam rumah. Ia memanggil suaminya untuk segera menyambut Larenz. Tanpa berbincang banyak mereka menuju ruang makan dan duduk mengelilingi meja makan
“Aku sudah menyuruh seseorang untuk memanggil ibumu ke sini. Mungkin ibumu masih di jalan. Kita akan makan bersama
“Terimakasih nyonya, tuan.”
“Kau harus mulai memanggil kami ibu dan ayah” dewi Eilleen tersenyum.
“Ah, iya bu. Dewi Davonna dimana?”
“Dia sangat sedih karena kau sakit. Dia pikir itu salahnya, jadi dia pergi ke gunung untuk menenangkan diri. Mungkin besok dia pulang. Kalau tidak, aku akan menyuruh seseorang untuk menjemputnya.”
Larenz tersenyum getir. Ia tak bisa melihat gadis yang dirindukannya malam itu. Ia sudah berusaha pulang secepat ia bisa agar bertemu dengan dewi Davonna. Tapi harapannya pupus.
***
Matahari perlahan turun. Panasnya tak terik lagi. Serombongan pasukan. Berkuda berhenti di depan tugu masuk Tanah Seira. Target mereka harus menumpas semua warga di wilayah itu sebelum matahari terbenam. Baik laki-laki maupun perempuan, anak-anak atau pun dewasa dan orang tua. Semuanya harus dihabiskan dan jangan dibiarkan tersisa supaya kelak tidak terjadi kerusuhan karena keturunan asli Tanah Seira menuntut balas.
Dengan satu isyarat pasukan mulai menyerbu Tanah Seira. Mereka mengayunkan pedang pada setiap orang yang mereka temui di jalan. Orang-orang tanpa persiapan dan pertahanan diri langsung tergeletak di tanah dengan luka menganga dan bersimbah darah, laki-laki dan perempuan, anak-anak dan dewasa bahkan orang tua.
Orang-orang berteriak, berlari dan menangis. Kejadian di depan mata mereka begitu mengerikan dan kejam. Tak ada waktu untuk melarikan diri atau memohon keselamatan. Pangeran Darren yang berada di tengah pasukan segera memisahkan diri. Ia dan satu orang dari pasukan langsung menuju rumah kepala daerah Haven.
Sebagian warga yang sudah mendengar penyerangan mendadak itu segera mencari senjata dan mulai melawan. Tak banyak yang mereka lakukan untuk melawan prajurit yang sudah terlatih dengan pedang, tombak, dan panah. Pertahanan itu hanya bertahan sebentar dan mereka pun mati. Prajurit bahkan tak banyak menggunakan perisai mereka.
Tangis dan jeritan semakin nyaring terdengar di Tanah Seira. Darah semakin banyak tertumpah. Wilayah itu seketika menjadi sebuah mimpi buruk. Jerit dan tangis tak berhenti, bau darah semakin menyengat.