Pangeran Darren melambat saat tiba di perbatasan. Ia menoleh. Kali ini ia hanya pergi dengan seorang pengawalnya, Adney. Ansell ia tugaskan untuk mengisi kekosongannya selama ia pergi ke Istana.
“Ada yang tertinggal, yang mulia?”
“Ya, tapi tidak apa-apa”
Ia kembali memacu kudanya dan berjalan ke arah utara. Perjalanan dengan kuda dan hanya seorang pengawal akan mempercepat perjalanan mereka. Dengan bukti berupa catatan dari pengawal kemarin ia akan memulai penyelidikannya.
Baiklah, aku hanya harus menemukan pelakunya. Tak perlu menghukumnya.
***
Kelopak mata itu mengerjap beberapa kali sebelum benar-benar terbuka. Putri Davonna membuka matanya perlahan. Kamarnya tak lagi gelap. Matahari telah menunjukkan kemegahan sinarnya yang menembus celah jendela. Ia melihat ke sampingnya. Ia hanya seorang diri. Seorang pria, yang tadi malam menjaganya telah pergi.
Ia mencoba duduk. Kepalanya terasa pusing dan perutnya sangat lapar. Baru saja ia akan turun dari tempat tidur. Pintu kamarnya dibuka. Seorang gadis ramping berwajah cantik dan polos masuk dengan percaya diri. Tangannya membawa nampan.
“Kau sudah bangun?”
“Krisia? Kau masuk tanpa mengetuk dan bertanya tanpa menyebut nama dan gelarku? Berani sekali!"
“Kau terlihat bersemangat. Sepertinya kau sudah sembuh"
Krisia meletakkan nampan berisi semangkuk bubur dan segelas teh panas ke meja bundar di tengah ruangan. Ia lantas duduk di kursinya.
“Kasihan sekali Darren harus menikahi wanita bodoh sepertimu”
“Jangan kelewatan, Krisia.”
“Yang kaupikirkan hanya dirimu sendiri. Kau tidak peduli orang lain. Kau tau negeri ini sangat krisis sekarang, tapi kau tidak pernah membantu Darren mengatasi masalah ini atau sekadar memberi saran”
“Kau hanya memanggil namanya begitu?”
“Oh, kau mungkin tidak tau. Aku sudah mengenalnya sejak kami masih kecil. Dia memang pangeran. Tapi kami teman yang bisa memanggil nama satu sama lain. Bagiku, Darren bukan pria berkasta tinggi, tapi dia hanya pria biasa sama sepertiku."