Hanya ada raja Cristopher dan putra mahkota dalam ruangan itu. Putra mahkota sengaja menemui ayahnya seorang diri. Ia tak mengajak saudara-saudaranya pangeran pertama dan kedua. Ia juga tak mempersilakan para pejabat kerajaan bergabung dalam pembicaraan itu. Mereka duduk dipisahkan sebuah meja bundar. Teh melati dan madu di atas meja tak lagi mengepulkan asap. Di tengah-tengah cangkir teh sebuah buku tebal terbuka di di depan mereka. Buku itu berisi laporan penerimaan upeti dari berbagai wilayah kekuasaan kerajaan. Semua wilayah patuh membayar upeti sesuai yang ditentukan setiap waktu, namun Tanah Seira tak ada dalam daftar itu.
Raja tampak memandang buku di depannya dengan cermat. Ia mengharap wilayah kekuasaan barunya itu bisa memberinya upeti. Sebaliknya, wilayah itu malah meminta bantuan dari kerajaan.
“Seperti yang ayah lihat, Tanah Seira tak seperti harapan ayah. Ini semua karena pangeran Darren tak bisa mengelola tanah itu. Tanah itu harus dikelola oleh orang yang tepat”
Dalam hati raja, ia ingin menyangkal hal itu. Tanah Seira adalah tanah paling subur dan menghasilkan tuaian yang berlimpah. Tanah itu akan selalu menghasilkan tuaian yang melimpah tanpa mengenal perubahan cuaca karena tanah itu hanya bergantung pada keturunan pemilik aslinya, dewi Asyera.
Putri Davonna sudah kembali ke tanah itu. Seharusnya ia bisa mengatasi masalah di sana. Apa masalah di sana belum juga selesai?